Tuesday 22 September 2015

Rusman dan Rusmini Oleh: Rania el-Amina

Rusman tetap kukuh pada pendiriannya. Ia ingin tetap menjadi penulis. Meskipun dirinya tahu kualitas tulisannya tak mampu bersaing di media masa mana pun. Baginya menulis adalah panggilan hidup yang tak semua orang mampu menjalaninya. “Ini adalah takdirku!” tandasnya dalam hati.

Ia memang gemar menulis sejak kali pertama jatuh cinta pada Rusmini, teman sebangkunya semasa SMA. Di sela-sela kegiatan belajar mengajar, Rusman tak pernah absen menuliskan sekian bait puisi untuk memikat hati Rusmini. Tak jarang pula, ia diam-diam menyelipkan sepucuk surat cinta ke dalam buku tugas Rusmini saat jam istirahat.
Perbuatan Rusman yang dilakukan secara diam-diam itu tak selamanya mulus. Pernah suatu ketika, surat yang diselipkan di buku tugas Rusmini ketahuan Bu Leli, guru Bahasa Inggris yang tengah mengajar saat itu. 

Rusman dan Rusmini pun dibuat malu bukan kepalang. Karena surat yang ditulis Rusman itu dengan cukup lantang dinarasikan Bu Leli di depan anak-anak. Akibatnya, hampir seisi SMA menjadikan kejadian Selasa siang itu buah bibir di lingkungan sekolah.

Akibat kejadian itu pula, Rusmini yang awalnya mulai tertarik pada Rusman seketika balik kanan membenci Rusman. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Namun Rusman tak pernah menyerah. Dan barangkali itu pula yang akhirnya membuat Rusmini mau menikah dengan Rusman.

Mereka menikah setahun setelah lulus kuliah. Meski berbeda jurusan, Rusman mengambil konsentrasi sastra sedang Rusmini mengambil akutansi, kebiasaan Rusman menulis surat cinta tetap berlanjut. Jika dikatakan lulus, sebenarnya kurang tepat. Karena yang lulus kuliah hanyalah Rusmini, sedang Rusman tak melanjutkan kuliahnya karena harus merawat ibunya yang mulai sakit-sakitan sebelum akhirnya meniggal dunia.

Kehidupan lelaki berkumis tipis itu pun boleh dibilang sederhana. Kesehariannya hanya diisi dengan menulis dan berjualan buku di toko milik temannya. Penghasilannya yang tak seberapa itulah yang digunakan untuk menyambung hidupnya hari demi hari sampai akhirnya ia menikah dengan Rusmini.

Berbeda dengan Rusman, Rusmini memiliki latar keluarga yang cukup mapan. Alamarhum ayahnya adalah pengusaha kayu Kalimantan yang cukup terkemuka di Jawa. Dan setelah lulus dari bangku perkuliahan, Rusmini bekerja sebagai teller sebuah bank swasta di Semarang. Kehidupan mapan yang jauh berbeda dengan Rusman, rupanya tak mengahalangi perasaan cinta untuk tetap tumbuh di hati Rusmini. Akhirnya, bulan pertengahan bulan Juli pun jadi saksi dua sejoli itu mengikat janji suji di pelaminan.

Kehidupan rumah tangga Rusman berjalan biasa-biasa saja. Semua kebutuhan hidup tercukupi oleh gaji yang diterima Rusmini sebagai seorang teller. Sayang, hingga pernikahan mereka menginjak lima tahun, perut Rusmini belum juga ada isinya.

“Apa sayangmu akan berkurang karena aku tak bisa memberimu keturunan?” tanya Rusmini penuh iba.

Rusman tersenyum sambil membelai rambut panjang Rusmini. Ia tatap dalam mata istrinya dengan penuh kasih.

“Kamu adalah pelengkap hidupku. Asal kamu masih di sisiku, aku tak pernah merasa kekurangan suatu apapun”

“Apa kamu tak rindu kehadiran seorang anak?”

“Apa arti rindu pada anak bila istriku bersedih dan aku tak bisa berbuat apa-apa. . .”

Mereka pun akhirnya larut dalam buaian mesra sepasang suami istri. Cumbuan, lenguh dan keringat adalah hal yang selalu mengeringi perjalanan panjang mereka dalam menemukan suara tangis bayi. 

***

Kabar tentang dollar yang menembus Rp. 14.000 menjadi kabar buruk bagi keluarga Rusman. Akibat dari melemahnya nilai rupiah itu bank tempat Rusmini bekerja terpaksa harus mem-PHK puluhan karyawannya, dan nama Seta Rusmini termasuk ke dalam daftar karyawan yang di-PHK.

Satu-satunya sumber pemasukan keluarga pun lenyap. Sementara ini hanya sisa gaji bulan kemarin dan uang pesangon dengan jumlahnya tak seberapa itu yang Rusmini andalkan untuk mengepulkan asap di dapur.

“Kita tak lagi punya apa-apa. . .” 

“Kita masih memiliki satu sama lain, aku milikmu dan aku memiliki dirimu, Rusmini.”

“Tapi uang kita mungkin tak cukup hingga bulan depan.”

“Kebahagian kita tidak bergantung pada jumlah uang di kantong. Lihat sisi baiknya, sayang.”

“Aku tak tahu sisi baik mana yang kau maksud, Mas.”

“Kita jadi punya banyak waktu untuk terus bersama. Kamu tak perlu lagi terburu-buru bangun pagi untuk pergi ke kantor yang kini telah membuangmu. Dan kita semakin punya banyak waktu untuk menghadirkan suara bayi di ruangan ini.”

Rusmini tersenyum. Ia selalu merasa begitu tenang bila mendengar Rusman menghibur dirinya. Ia akui bahwa Rusman memang lihai dalam mengatur kata dan mengambil hatinya melalui tulisan-tulisannya.

“Mengapa kau tak coba mengirim karya-karyamu ke media?”

“Mereka tak akan mau menerima karyaku.”

“Mengapa, kan belum dicoba. . .”

“Media itu kejam, mengirim karya ke mereka tak ubahnya dengan berjudi, yang mereka butuhkan bukan keindahan namun penghasilan.”

“Kita pun perlu penghasilan. Coba saja . . .”

Rusman tak lagi punya pilihan. Apa yang dikatakan istrinya ada benarnya. Ia memang tak pernah sekali mengirimkan karya-karyanya ke media masa sebagaimana yang sering dilakukan oleh rekan-rekannya. Dalam hatinya selalu terbesit ketakutan bahwa karyanya hanya akan menjadi sampah di meja redaksi.

***

Keadaan benar-benar memaksa Rusman untuk mencari uang. Terlebih saat istrinya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dari keterangan dokter, Rusmini harus menjalani operasi pada bagian paru-parunya. Celakanya ongkos rumah sakit tidaklah murah apalagi gratis. Prinsipnya tentang karya yang menjadi sampah di meja redaksi benar-benar di uji. Kali ini mau tidak mau ia harus bermain judi dengan redaktur media untuk mengembalikan kesehatan istrinya. Mengorbankan prinsip yang selama ini digenggam terlalu kuat. Demi satu-satunya orang tercinta dalam hidupnya, Rusmini.

Rusman pun segera bergegas mengumpulkan semua karya-karya yang dibuatnya sejak SMA. Ia pilih karya-karya yang menurutnya terbaik untuk dikirim ke berbagai media masa. Ada sekitar tujuh puluh cerpen yang ia kirim ke lima belas media masa berbeda. Mulai dari koran lokal, koran nasional, majalh hingga tabloid. Kali ini Rusman benar-benar menggantungkan harapannya pada karya-karya yang pernah dibuatnya, sebab Rusman tak memiliki keahlian lain selain menulis.

Tiga hari setelah pengiriman karyanya, beberapa surat penolakan mulai berdatangan mengiris hati Rusman. Untuk pertama kalinya Rusman merasa tercabik-cabik hatinya. 

“Redaktur kampret! Apa mereka tak mengerti sastra! Mengapa semua karyaku ditolak semudah ini!” umpat Rusman saat membaca surat penolakan yang di terimanya pagi itu.

Pikiran Rusman benar-benar kalut. Di telinganya terngiang ucapan dokter yang mengatakan bahwa bila Rusmini tak segera dioperasi maka nyawanya tak akan dapat diselamatkan. Beberapa barang di rumah telah terjual, termasuk alat-alat elektronik yang dimiliki Rusman untuk biaya rumah sakit. Satu-satunya harapan yang dimiliki Rusman adalah setumpuk karya-karyanya yang rapi disimpan di almari.

Karena terlalu kalut, Rustam pun tak dapat berpikir jernih lagi. Kali ini ia berjudi lagi dengan karya-karyanya. Ya, semua karya yang dimilikinya di kirimkan ke semua media masa yang ia ketahui. Berbeda dengan yang pengiriman karya beberapa hari yang lalu, Rusman menambahkan kalimat ancaman di bagian akhir surat pengiriman karyanya.

“. . . Kalau karya-karyaku tak dimuat dalam tiga hari, aku bersumpah akan bunuh diri. Dan itu semua karena KAU!”

Rusman kian terpukul dan kehilangan akal sehat saat dokter mengabarkan bahwa nyawa istrinya tak dapat tertolong. Padahal rumah seisinya telah tergadaikan untuk biaya operasi. Lelaki berbadan kurus itu shock berat karena ditinggal mati orang yang dicintainya. Akal sehatnya benar-benar hilang, dan akhirnya ia pun nekat mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri setelah membakar semua karya-karyanya.

Jasad Rusman yang tergantung di tali pertama kali ditemukan oleh seorang tukang pos yang hendang mengantar surat-surat untuk Rusman. Surat-surat yang isinya tawaran kontrak kerja dan penerbitan karya-karya yang telah dibakarnya. 

Yogyakarta, 27 Agustus 2015

Rania el-Amina
Bagikan:

0 comments: