Monday, 18 April 2016

Tentang Empat Muwadaah di Guyangan (Bagian II - selesai)

"Selamat Bergembira! Namun, Jangan Hapus Panas Setahun dengan Hujan Sehari!"

Sebelum pagi, puluhan IKAMARU Jogja sudah siap sedia berada di Guyangan. Beberapa di antara mereka berangkat dini hari tadi, lantaran harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tak bisa dinego untuk ditinggal. Pun demikian, tidaklah berkurang semangat mereka untuk menghadiri wisuda/muwada’ah di pondok yang merupakan tempat mereka menimba ilmu. Semua berbahagia, aku pun juga amat bahagia.

Sampailah hari pada Minggu, 17 April 2016. Hari yang akan melahirkan ratusan alumni baru dari pesantren penuh barokah, Raudlatul Ulum Guyangan. Beberapa postingan di akun media sosial aku telah penuh dengan foto-foto wisuda tahun lalu. Beberapa menulis, “Tidak terasa sudah setahun!”. Tapi (karena kurang kerjaan) aku meralat, belum setahun. Karena dulu aku dan teman-teman IKAMARU 2015 diwisuda pada tanggal 27 April 2015. Tapi, lupakanlah. Bagian ini tidak terlalu penting untuk diceritakan.

Percaya atau tidak, meski sudah diwisuda setahun yang lalu, aku baru merasakan bagaiaman euforia wisuda pada tahun ini. Lucu memang. Tapi itulah kenyataan yang ada. Begini...

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya ketika kelas MDPA, saat wisuda seperti ini aku belum punya banyak kenalan. Maklum, masih baru. Lagi pula saat itu aku hanya berada di pondok dan bersiap-siap untuk mengikuti pekemahan di tingkat provinsi. Kemudian, saat aku kelas X MA, pada saat yang sama, aku memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas sebagai panitia (sama-sama tahulah tugasnya apa). Bukannya senang, di acara muwadaah saat itu aku merasa sedih dan sepi, lantaran saudara perempuan aku telah lulus dan harus pergi. 
Pada acara wisuda berikutnya, hampir-hampir aku kembali bersedih. Beberapa teman dekat, seperti Aryun dan kawan-kawan harus pula pergi. Namun, beberapa kesedihan sempat terobati dengan salam perpisahan dari seorang bernama Ratna yang sempat kudaulat punya kemiripan dengan kekasihku. Hehehe....

Dan saat acara muwadaahku sendiri, aku agak kesulitan menikmati muwadaah ini. Bagaimana tidak, saat teman-teman sedang senang-senangnya gladi bersih, bersiap berkemas-kemas untuk pulang, lagi-lagi aku harus berbeda. Ya, aku harus bersiap-siap untuk mengikuti perkemahan lagi di Pemalang bersama beberapa teman lain.

Ah, kalau teringat hari itu... Lucu sekali rasanya. Bayangkan, malam sebelum muawadaah (pada malam Minggu sekitar pukul setengah 12 malam), aku pergi ke suatu tempat untuk menjumpai pelatih tari yang mengajari beberapa rekan kemahku menari. Tarian ini nantinya akan dipentaskan pada saat pentas seni ketika kemah di Pemalang lusa dan baru kembali pada kisaran jam tiga pagi! Capek!

Alhasil, paginya dengan sedikit kantuk sisa semalam dan kebahagian yang menyesakkan dada (karena... tau lah) aku pun mengikuti prosesi wisuda. Petuah demi petuah Kyai aku simak baik-baik, karena terbesit kekhawatiran bahwa petuah-petuah itu akan menjadi petuah terakhir yang aku dapat dari Kyai Najib.
Dan setelah prosesi wisuda selesai, ketika aku melihat teman-temanku bergembira ria dengan temannya, ketika aku melihat anak-anak lain berbahagia pulang bersama keluarga mereka, aku hanya mampu melihat. Hanya sejenak saja. Aku belum bisa pulang bersama orang tuaku saat itu. Mereka pulang hanya dengan membawa beberapa barangku dan sekali lagi tanpa aku. Agak sesak juga rasanya waktu itu. Tapi apa boleh buat, inilah bentuk sayang yang sesungguhnya, pikirku saat itu.

Ya, saat kau sudah tidak lagi berada di dalam rumahmu, tapi kau masih mau membantu merawat dan menghiasnya, itulah bentuk sayang yang lebih dari sayang yang biasa. Tanpa sempat menikmati, euforia muwadaah saat itu, aku pun bergegas untuk bersiap-siap mengemas barang untuk perkemahan besok. Jadi, itulah mengapa aku baru merasakan senangnya muwadaah pada tahun ini.

Satu hal yang akhirnya kudapati adalah barokah itu bisa datang dengan sebab yang beragam, namun perjuangan yang ikhlas kupikir adalah sebab yang cukup potensial untuk memunculkan kebarokahan. Biar bagaimanapun juga, meski saat itu terasa sesak, toh pada akhirnya aku harus berterima kasih kepada YPRU yang telah memberikanku banyak sekali pengalaman berharga. Sesuatu yang amat berharga, yang mungkin tidak semua santri memilikinya. Barangkali, bila aku tidak mengambil pilihan-pilihan yang berbeda seperti yang aku ambil dulu, belum tentu aku bisa berada di tempat ini dan berkeadaan seperti saat ini. Terima kasih, para kyai YPRU!

Baca Bagian Pertama
Bagikan:

Tentang Perjalanan di Muwadaah 2016 (Bag. I dari 2 tulisan)

“IKAMARU bukan sekedar kebanggan, namun juga tantangan untuk menjadi khoirunnas anfa’uhum linnas”

Jumat kemarin, usai kuliah dan menyelesaikan beberapa kegiatan di kampus, saya menyempatkan diri untuk menghadiri acara muwada’ah di pesantren yang amat saya rindukan. Sebelum keberangkatan, sempat ada sedikit masalah soal jadwal, namun apa boleh buat bila tekad di hati sudah bulat. Dengan diantarkan oleh teman sekelas, saya pun pergi ke terminal. Dan singkatnya, sampailah juga saya di Pati sekitar pukul 22.00 dengan lelah yang bercampur bahagia.

Malam itu saya dijemput oleh salah seorang teman baik saya, seorang teman yang dulu juga berjuang bersama saya ketika masih nyantri di Guyangan, Insanul Mahfidz. Saya sering memanggilnya dengan sebutan Kajar. Di rumah Kajar-lah saya menginap malam itu.

Sembari melepas lelah, saya dan anak berperawakan tinggi kurus itu bernostalgia dengan apa yang pernah terjadi selama kami berdua bersekolah di Raudlatul Ulum. Kami berdua bukan sekedar dekat, tapi amat dekat. Kegiatan padatlah yang dulunya membuat kami saling mengenal satu sama lain hingga seperti sekarang.

Akan sangat panjang jadinya, bila saya ceritakan isi nostalgia kami berdua. Setelah sama-sama lelah, kami pun rehat dengan sendirinya. Dan sejurus kemudian, datanglah pagi di hari Sabtu.

Sabtu itu, hanya ada dua agenda besar yang benar-benar ingin saya lakukan. Pertama, berziarah ke Almaghfurulah Yi Suyuthi kemudia yang kedua adalah berkunjung ke pondok yang bertahun-tahun dulu menampung kisah dan semua kenangan saya.

Di temani Kajar, berangkatlah saya ke maqbaroh Guyangan. Tanpa diduga, beberapa teman IKAMARU dari beberapa wilayah, termasuk Semarang, Malang dan Surabaya juga sedang beberapa di sana. Usai “bersapa rindu” dengan Yi Thi dengan bacaan Surat Yasin dan Tahlil, saya dan Kajar bergegas menuju rumah salah seorang teman kami (yang juga saya kangeni), Fajrul Falah alias Jin.
Jin inilah yang dulunya juga banyak membantu saya selama di Guyangan. Orang yang lugu dan sesekali membuat perasaan jengkel lahir karena ucap dan polahnya. Dia orang yang cerdas, setidaknya nama Jin yang melekat pada dirinya bisa dijadikan sebagai bukti. Ya, Jin merupakan potongan silabel dari kata dengan bunyi JIN-ius (plesetan dari jenius). Malam ini, saya akan bermalam di rumah Jin yang letaknya tak jauh dari pondok. Sebelum ini, saya sudah sering menginap di rumah Jin. Jadi, boleh dibilang, saya cukup akrab dengan keluarga si Fajrul ini.

Sesuai rencana yang sempat saya singgung di awal tadi, setelah cukup melepas penat, usai dzuhur kami bertiga berkunjung ke pondok putra, (sekali lagi) tempat yang benar-benar saya rindukan belakangan ini. Dag dig dug rasanya, ketika kaki ini kembali menapak dan melewati gerbang hijau pondok yang dulunya sering mengunci anak-anak yang telat berangkat ke madrasah.
Setelah mendapat izin dari lurah pondok, saya pun hilang sabar untuk segera masuk ke kamar. Dan, Allah! Betapa senangnya hati ini ketika mendapati teman-teman sekamar dulu sedang berkemas-kemas hendak wisuda besok. Semua anak di kamar menyalami saya dengan wajah penuh keceriaan. Saya hampir pangling. Bagaimana tidak, anak-anak MTs yang dulu masih kecil-kecil ketika aku lulus, kini sudah nampak besar. Hampir sebesar saya!

Kamar yang penuh kenangan itu, Abdullah bin Mas’ud namanya. Letaknya amat strategis. Bila ke bawah langsung ke kamar mandi dan dapur, bila ke atas menuju ke komplek G dan lantai 4, tempat menjemur pakaian. Sedangkan jika lurus menuju ke kamar-kamar komplek E dan jika ke kanan menuju komplek d. Banyak yang berubah dari kamar ini. Mulai dari warna cat yang dulunya hijau kini menjadi merah muda, serta beberapa penataan-penataan lain terhadap hiasan kamar. Ini kamar kami!

Puas bercengkrama dengan anak-anak kamar Mas’ud, saya teringar salah seorang teman saya di MDPA yang karena suatu hal ia tidak dapat wisuda bersama saya tahun lalu. Faisal Amar. Dari bawah, saya memberi kode kepada anak di lantai tiga untuk memanggilkan Amar. Dan tidak sampai satu menit, datanglah ia. Wajahnya penuh kebahagiaan. Suara tawanya masih sama. Rambutnya saja yang agak berbeda, agak pendek bila dibandingkan rambut saya, biasanya sebaliknya, hehehe....

Kami berdua bercakap banyak hal di teras kamar Mas’ud. Hingga akhirnya ia harus pergi, karena harus mengikuti gladi bersih wisuda di madrasah. Ya Allah, semua tampak gembira hari ini. Saya yang sudah lulus ini, malah jadi ikut tidak sabar untuk mengikuti prosesi wisuda besok pagi.

Selain Amar, di kantor pondok, saya juga berjumpa dengan Gus Nabil, putra dari pengasuh pondok ini. Dari beliau, saya mendapatkan buku wirid as-Suyutiyyah yang dulu belum dicetak sebagus yang saya dapatkan ini. Selain as-Suyutiyyah, saya juga beroleh majalah Bangkit dari pentolan ISRU yang sedang berkemas-kemas hendak ke madrasah untuk mengikuti gladi bersih pula. 
Saya tidak bisa menuliskan, bagaiamana perasaan saya yang amat senang siang itu melalui tulisan ini. Rasa-rasanya, saya kesulitan mencari kata yang dapat mewakili kegembiraan saya kala itu. Tak apa, toh nantinya semua rekan-rekan IKAMARU 2016 juga pasti akan merasakannya sendiri. Perasaan bahagia ketika kembali ke pondok pesantren. Perasaan bahagia ketika dapat kembali mencium tangan guru-guru Guyangan. Perasaan bahagia-bahagia lain ketika rindu dapat dipatahkan!

Bagikan: