Monday, 7 September 2015

CINTA SEJATI CINDERELLA by: Rania el-Amina

Dalam kehidupan nyata, aku tergolong orang yang biasa-biasa saja. Tak ada keistimewaan yang memberikan nilai lebih pada diriku. Bahkan tak jarang aku mengutuki diriku sendiri lantaran tak ada satu pun hal yang dapat aku banggakan. Di dunia ini, mungkin hanya kedua orang tuaku lah yang pernah memujiku dengan tulus.
Hingga usiaku 21 tahun, aku belum pernah sekali pun merasakan bagaimana indahnya cinta. Teman-teman sepermainanku menjulukiku fakir cinta. Aku tak marah, aku juga tak sedikit pun membenci mereka. Setidaknya aku tahu, apa yang mereka katakan itu ada benarnya. Dan mau tak mau aku memang harus mengakui kekuranganku itu. 
Dua tahun terakhir hidupku seolah menjadi tak ada artinya. Setelah kedua orang tuaku meninggal karena tabrak lari, aku memutuskan untuk tak melanjutkan lagi kuliahku. Tentu saja banyak hal yang memaksaku memilih berhenti kuliah, salah satunya adalah karena hidup ini selalu memilik tarif harga yang selalu naik.
Sekarang aku tinggal di rumah peninggalan orang tuaku di pinggiran Kota Yogyakarta. Rumah ini adalah peninggalan yang penuh dengan kenangan. Satu hal yang pasti tak akan kulakukan adalah menjual rumah ini. Karena menjual rumah ini sama artinya menjual kenangan dan kisah hidupku kepada orang lain.
Sejak kecil ibuku selalu mengantar tidurku dengan berbagai dongeng yang dimilikinya. Aku suka mendengarkan dongeng, meski pada akhirnya aku tahu bahwa dongeng sebenarnya adalah bualan belaka. Namun aku tetap suka dibohongi dengan kisah-kisah yang dituturkan ibuku.
“Bisa aku bertemu dengan Cinderella?” tanyaku suatu malam pada ibu.
“Mengapa Aldi ingin bertemu Cinderella?” ibuku menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Aku ingin ditemani Cinderella.”
“Nanti kalau Aldi sudah besar, Aldi pasti akan menemukan Cinderella milik Aldi.” tuturnya begitu lembut.
“Apa semua orang punya Cinderella?”
Wanita dengan keriput di sekitar matanya itu tersenyum lalu meangagguk. Meyakinkan diriku yang saat itu masih berusia 8 tahun bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu Cinderella. Namun hingga ibuku meninggal, aku tak pernah bertemu dengan Cinderella. 
Kegilaanku pada tokoh Cinderella tak berhenti pada masa kecilku. Bahkan hingga kini pun aku masih mengidolakan perempuan cantik yang terkenal dengan sepatu kacanya itu. Barangkali itu pula yang membuat diriku tak bisa mencintai seorang wanita lagi, hatiku telah terisi dengan sosok cantik bernama Cinderella. Aku jatuh cinta padanya.
Mungkin kau beranggapan aku gila, sinting, kurang waras atau apalah itu. Namun satu hal yang belum pernah kau ketahui dari diriku adalah aku mempunyai satu keberuntungan yang tak pernah dimilik orang lain. Bahkan aku belum menceritakan hal ini pada siapa pun selain engaku. Tahukah kau, aku pernah bertemu dengan Cinderella di dunia nyata, bahkan aku pernah mecumbunya dan bercinta dengannya pada suatu malam.  
                                                                      
                                                                         ***

Di suatu malam dengan gerimis yang merintik, samar-samar aku mendengar suara tangisan seorang perempuan. Malam itu udara memang cukup dingin untuk membuatku betah berselimut. Namun suar tangis perempuan di malam itu benar-benar mengusik dan membuatku penasaran.
Aku singkap perlahan gorden jendela kamarku dan memperhatikan keadaan di luar rumah. Seketika mataku tertuju pada seorang perempuan yang duduk di bangku panjang depan rumahku. Hantu? Aku tak terlalu percaya pada hal seperti itu. Hidup ini terlalu rumit untuk memikirkan hal yang tak jelas macam hantu.
Gerimis masih merintik. Dengan tergesa-gesa aku turun dari lantai dua rumahku dan segera mendekati gadis itu. Setelah jarak kami hanya kurang dari tiga meter, kuberanikan diri untuk menyapa si pemilik tangis itu.
“Kamu sedang apa di sini?” aku agak gugup.
Perempuan itu masih menangis dan sejurus kemudian menoleh ke arahku. Ia hanya terdiam, namun dapat kutangkap garis kebingungan di raut wajahnya yang canti itu.
“Di luar sini dingin, gerimis pula. Bagaimana kalau kita masuk saja?” tawarku.
Ia masih terdiam menatapku, “Tenang, aku bukan orang jahat kok. . .” ucapku sembil melempar senyum yang dibalas dengan lembut angukan kepala.
Ia berjalan begitu gontai. Seolah-olah tak lagi punya tenaga untuk sekedar melangkahkan kakinya. Dengan hati-hati aku pun menuntunnya menuju rumahku, lalu membantunya untuk duduk di ruang tamu. Aku pun segera mengambil selimut hangat dan segelas teh hangat untuk tamu yang tak kukenal itu.
Ada hal aneh yang aku rasa saat pertama kali melihat wajahnya. Aku merasa pernah melihat gadis ini dalam hidupku. Namun kapan dan dimana, otakku masih belum menemukan jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut.
“Boleh aku tahu namamu?” aku memulai percakan di malam yang terus larut itu.
“A... aku Cinderella.”
Seketika aku tertawa lepas. Sedang gadis itu tetap terdiam seolah heran dan ingin tahu apa yang aku tertawakan.
“Ada yang aneh dengan namaku?”
“Namamu mirip tokoh dongeng yang sering aku dengar sejak kecil.”
“Aku memang berasal dari dunia dongeng”
“Kau bercanda kan?”
“Aku serius!”
“Lalu, bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa benar dunia dongeng itu ada?” wajah seriusnya membungkam tawaku, meskipun hatiku masih memungkiri eksistensi dunia dongeng.
Cinderella pun akhirnya bercerita lepas tentang perjalanan panjang yang mengantarkan dirinya sampai ke dunia nyata. Rupa-rupanya ia diusir dari istana lantaran kehilangan sepatu kaca ajaibnya. 
“Kau tahu kan, hanya dengan memakai sepatu itu aku akan menjadi cantik, dan tanpanya Pangeran tak mengenali siapa aku meski kami sudah hidup bersama cukup lama.” jelasnya.
“Itu konyol sekali dan tak masuk akal.”
“Dunia dongeng memang tak pernah memiliki rasionalitas jelas, bukankah kau tahu akan hal itu?”
Aku tertegun dan baru kembali menyadari bahwa apapun bisa saja terjadi di dunia dongeng. Bahkan hal-hal yang tak masuk akal sekali pun. Sangat berbeda dengan duniaku yang selalu bergantung pada kausalitas.
“Apa kau ingin kembali ke duniamu?”
“Tentu saja, namun aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Bisakah kau membantuku . . . eh, siapa namamu?”
“Aldi. Namaku Aldi. Aku tak yakin bisa membantumu, namun baiklah aku akan mencari cara agar kau dapat kembali ke dunia dongeng. Sekarang sebaiknya kau beristirahat, sudah lewat tengah malam.”
“Iya.”
Ia pun beristirahat di kamar lantai satu. Itu adalah kamarku semasa kecil. Satu hal yang baru kusadari memang dialah tokoh yang selama ini aku impikan. Aku menyadari hal itu saat aku masuk ke kamar lamaku dan menjumpai beberapa poster Cinderella berukuran besar di dinding kamar. Cinderella sempat kaget dan bertanya tentang poster tersebut, dan aku kikuk menjawabnya.
 
                                                                      ***
 
Malam terus berlanjut mengusung pagi. Mataku tak terpejam semalaman. Hatiku berdegup tak beraturan. Ada hal aneh yang menderaku dan itu tak bisa aku jelaskan. Aku selalu terbayang wajah Cinderella. Belum pernah aku mengalami kegelisahan yang membingungkan seperti ini.
Kegelisahan itu terus berlanjut hingga surya menyapa pagi. Aku tak seditik pun terpejam, namun tiada kantuk kurasa. Dengan terburu-buru aku turun menuju kamar Cinderella. Saat di depan pintu kamar, kudapati ia sedang melihat keluar jendela dengan wajah yang disirami sinar pagi. Aih, cantik sekali gadis ini.
“Sudah bangun rupanya. . . .” sapaku yang sepertinya membuyarkan lamunannya.
“Aldo, apakah di sekitar sini ada hutan?” pertanyaan itu seolah-olah spontan terlontar begitu saja dari Cinderella.
“Eh, hutan? Ada sih, mau ke hutan? Ngapain?”
“Aku harus bertemu Ibu Peri. Dia tinggal di hutan”
“Ibu Peri? Ini dunia nyata, dan peri itu hanya ada di dunia dongeng”
“Sudahlah, kita coba saja dulu. Bawa aku ke hutan.”
Aku pun tak dapat menolak permintaannya itu. Alhasil, setelah aku memintanya untuk berganti baju--aku memintanya memakai baju ibuku--kami pun berangkat menuju hutan di sepanjang jalur Solo-Jogja. 
“Ini kamu bilang hutan?” ujarnya saat sampai di hutan pinggiran Yogyakarta.
“Iya, kenapa?”
“Aldi . . . Ibu Peri itu tinggal di hutan yang lebat, dia nggak akan mau tinggal di hutan yang pohonnya jarang-jarang seperti ini.”
Aku menangkap raut kekecewan di wajah Cinderella. Namun, “Di sini, hutan memang seperti ini adanya.” ucapku pelan.
“Sudahlah, tak mungkin rasanya mengharap keajaiban pada kegersangan hutan seperti ini.” ia benar-benar kecewa dan mengajak pulang begitu saja.
Sejujurnya, aku tak ingin ia cepat-cepat kembali ke negeri dongeng, tempat ia berasal. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang selama ini kau impikan dan bahkan hanya gara-gara kau mengimpikannya orang-orang di sekitarmu memnganggapmu kurang waras. Dan sekarang orang yang kau kagumi itu ada dihadapanmu, bisa kau perhtikan dengan jelas bibirnya yang tersenyum bahkan menyentuh kulitnya yang begitu lembut.
“Tetaplah di sini, Cinderella.” spontan kalimat itu meluncur begitu saja tanpa kusadari saat Cinderella melangkah masuk rumah.
“Apa maksudmu?”
“Tetaplah di sini, kau tak perlu kembali ke negeri dongen untuk sekedar mencari kebahagiaan semu.”
“Apa maksudmu kebahagiaan semu? Lagi pula aku tak punya alasan untuk tinggal di duniamu”
“Ada! Aku akan jadi alasan agar kau tinggal di sini.”
“Aku tak mengerti, Aldi”
“Aku mencintaimu, Cinderella. Aku mencintaimu sejak usiaku 8 tahun hingga hari ini.”
“Tapi bagaimana dengan pangeran, dia adalah jodohku. . . “
“Dia tidak mencintaimu, cintanya hanya omong kosong belaka”
“Apa! Tutup mulutmu, kau tak tahu apa-apa soal pangeran!” Cinderella mulai bicara dengan nada yang cukup tinggi, pertanda ia muali emosi.
“Coba kaupikir sekali lagi, dia hanya mengenalmu saat kau memakai sepatu ajaib itu saja, dan saat kau kehilangan sepatumu, dia sama sekali tak mengenalimu, apa itu yang kau namakan cinta?”
“Tapi . . .”
“Jika memang pangeran bodoh itu mencintaimu, dia seharusnya mau menerimamu dengan atau tanpa sepatu kacamu yang hilang itu. Tapi apa kenyataannya? Dia tidak menerimamu apa adanya kan? Cinderellah, cintamu dengan pangeran hanyalah dongeng belaka, dan akulah cintamu yang sejati”
Cinderella terdiam. Perlahan-lahan air mata meleleh dari kelopaknya. Membasahi pipinya yang putih bersih itu. Dan tanpa aku duga, tiba ia memelukku. Ia memelukku erat sekali sambil meluapkan tangisnya. Aku pun membalas pelukan itu. 
“Kau benar, Aldi. Sepertinya hidupku di negeri dongeng, termasuk cintaku hanyalah sandiwara belaka. Itu hanya kebahagiaan semu. Terima kasih telah menyadarkan diriku” ucapnya di sela-sela tangis, “Apa kau benar-benar mencintaiku, Aldi?”
“Dunia ini saksinya.”
Cinderella melepas pelukannya dan menatapku begitu dalam. Hatiku berdegup tak berirama. Mataku seolah telah tertau erat dengan matanya hingga tanpa kami sadari, kedua bibir kami juga ikut bertaut seolah tak ingin lepas. Dan tentang apa yang terjadi selanjutnya, ah tak perlu kuceritakan. Cukup kau bayangkan saja.

 
Suatu Malam di Yogyakarta, 26 Agustus 2015
Rania el-Amina
Bagikan:

0 comments: