Beberapa waktu yang lalu saat
saya berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, berbagai pengalaman menghampiri dan
silih berganti mengisi pikiran. Kota dengan berbagai budaya di dalamnya itu
memang tak dapat dipungkiri lagi pluralitas keharmonisannya. Budaya saling menghormati
masih cukup terasa mewarnai sendi-sendi kehidupan di sana.
Saat itu saya sedang berada di
dalam sebuah bus ekonomi jurusan Jogja-Magelang. Di tengah-tengah perjalanan, masuklah
dua orang pengamen dengan gitar dan ketipungnya ke bus yang saya tumpangi. Saya
memang lebih menyukai bus ekonomi dari pada bus patas, bukan karena biayanya
yang miring namun karena alasan hiburan. Ya, hanya di bus-bus ekonomi kita bisa
menjumpai pengamen dan segala kreatifitas dari kalangan orang-orang—yang merasa—terpinggirkan.
Dua orang pengamen itu—setelah mengucapkan
prolog singkat—mulai memetik gitar dan menampar ketipung yang digantung di bahunya.
Mereka menyanyikan sebuah lagu beraliran reggae berjudul Ceng Ceng Po kara
Sukir Genk.
Awalnya saya tek tahu lagu
tersebut, namun mendengar bait-demi bait terlantun dengan vokal yang pas,
membuat saya tertarik untuk mencarinya di Youtube melalui smartphone putih yang
saya bawa. Beberapa recehan pun saya berikan pada dua pengamen itu, sejurus
kemudian mata saya sudah fokus tertuju pada layar ponsel dengan earphone yang
tersambung ke telinga.
Ketertarikan itu mendorong saya
untuk mencari lirik lagu Ceng Ceng Po di internet yang rupanya telah cukup
masyhur, jika dilihat dari jumlah blog/website yang telah memostingnya. Berikut
adalah salah satu lirik yang saya copas dari sebuah blog,
CENG CENG PO
Sukir Genk
sepiro lawase aku kenal karo kuwe
wong ayu anake guru marakne ra iso turu
aku sadar wong tuamu ora bakalan setuju
nduwe mantu mlarat bondo pengangguran koyo aku
aku niat nekat mangkat dolan neng omahmu
rencanaku kui among jalok dongo lan pangestu
karo bapak ibumu tau omongne opo enekku
jare bapakmu kabeh wong lanang kui koyo a*u a*u a*u a*u a*u
ceng ceng po kui jare wong tuamu ceng ceng po kui jare wong tuamu
ceng ceng po kui jare wong tuamu ceng ceng po kui jare wong tuamu
nganti tekane patiku ora mungken lali
opo seng wes di ucapne karo wong tuamu kui
mbok nganti kejegor sumor aku ora bakal mundur
tak terosne paleng ujung ujunge atiku ajor ajor ajor ajor muwor
golek utangan tonggo nggo mangkat neng jakarta
idep idep ngedu nasib mugo kabol cita cita
durong ngasi entok hasil aku wes kok tinggal mlayu
kowe ninggal aku mergo dijodohne wong tuamu kae seng rupane koyo
jiwa seniman kui ora iso di atur
padahal bandane seniman ora iso di ukor
wong tuamu mripate nyawang aku kui mong nganggur
otak buyar jane
pikiranmu iseh mambu kencor kencor kencor kencor kencor
sak ben dinane yen kelingan mataku mbrebes
awak ku tambah kuru rambutku rontok mergo stres
paito roso atiku ngulii pait godong kates
wong tuamu mrenges njodokne kowe karo PNS kae seng rupane koyo
Lirik yang cukup simpel bukan? Dari beberapa data
yang tertulis di internet, Sukir Genk memang sering mengangkat kisah-kisah dalam kehidupan nyata sebagai ide dalam
lagu-lagu mereka, dan Ceng Ceng Po adalah salah satunya.
Secara arti, sebenarnya saya belum tahu pasti apa itu
Ceng Ceng Po. Namun melihat dari koherensinya dengan lirik lagu di atas,
mungkin Ceng Ceng Po adalah istilah baru berupa akronim untuk menyebut
orang-orang yang tidak kita sukai alias nama sindiran.
Dalam lagu tersebut juga terdapat sensor kecil
dengan palafalan agak diselewengkan dari kata aslinya yang memang sebenarnya
memiliki arti kasar, lihat lirik “A#u”.
Lirik yang baik biasanya membangun makna utuh dalah
sebuah syair atau lagu. Namun pada lirik lagu Ceng Ceng Po ada bebrapa bait
yang menggelitik bagi saya. Sebuah pertentangan yang entah disadari atau memang
disengaja oleh penulis lirik tersebut.
Perhatikan potongan iriik berikut
aku sadar wong tuamu ora bakalan setuju
nduwe mantu mlarat bondo pengangguran koyo aku
Dalam lirik tersebut si penulis menyatakan bahwa
dirinya adalah seorang pengangguran yang kemungkinan besar akan ditolak sebagai
menantu oleh calon mertuanya, namun perhatikan lirik berikutnya,
jiwa seniman kui ora iso di atur
padahal bandane seniman ora iso di ukor
wong tuamu mripate nyawang aku kui mong nganggur otak buyar
jane pikiranmu iseh mambu kencor kencor kencor kencor kencor
pada lirik di atas si penulis lirik menyatakan
penolaknnya terhadap pendapat calon mertuanya yang beranggapan bahwa “tokoh aku”
seorang pengangguran. Secara tak langsung, penulis juga menyatakan bahwa
dirinya adalah seorang seniman dan seniman sendiri itu adalah sebuah pekerjaan
yang tidak dapat disamakan dengan pengangguran.
Dari kedua potongan lirik tersebut jika dicermati
seolah-olah memang bertentangan atau tidak koheren, tentang status pengangguran
yang dilabelkan pada diri “aku”. Namun secara keseluruhan lirik lagunya memang
asik dan menghibur sekali.
Untuk yang penasaran denga lagu ini, silakan tonton
di Youtube.
(Sebuah Review Sastra Amatir)
0 comments:
Post a Comment