Terlalu asik memperhatikan permainan
gitar akustiknya, membuatku terlena dan lagu yang ia nyanyikan kandas sebelum
reff yang kedua. Agaknya Rania menyadari kehadiran diriku.reflek aku buru-buru
menghadap ke bawah, menoleh ke kiri, kanan sambil menundukkan kepala seolah
mencari barangku yang -tak- hilang.
“Nayla, sedang apa? Mencari sesuatu?”
selidik Rania.
“Ah, tidak Ran. Kukira tadi ada
barangku yang jatuh, mungkin cuma perasaanku aja, maklum lagi banyak tugas.”
“Benar...?”
“Hmm...” aku mengangguk. “Kamu suka
lagu barusan?” ucapku mengalihkan perhatian.
“Oh, lagu tadi... Kamu dengerin aku
ya?” jawab Rania sambil membuat senyuman, namun tak selang berapa lama wajahnya
pasi.
“Iya, tadi dari luar, samar-samar aku
dengar suaramu Ran” kudekati Rania, “gitarmu bagus.” sambungku.
Rania terdiam, ia malah tertunduk lesu
sambil mengelus tabung resonansi gitar abu-abu yang masih di pangkuannya itu.
“Kenapa Ran? Kok jadi masam gitu
wajahnya?”
“Kamu tahu Nay, ini adalah satu-satunya
benda paling berharga yang masih kumiliki.”
Aku kurang mengerti dengan maksud
Rania, alhasil aku hanya mengeryitkan dahi sebagai isyarat ketidak pahamanku.
“Iya Nay... aku punya kenangan tersendiri
dengan gitar ini, sebuah kenangan kelam yang memberiku sebuah pelajaran
berharga tentang arti sebuah persahabatan. Satu kenangan yang membuatku berani
melangkah sampai hari ini.” Tuturnya sambil meneteskan bening air mata.
Agaknya peristiwa yang dialaminya
begitu dalam dan menyedihkan. Aku jadi tak tega untuk melanjutkan.
“Ma... maafkan aku Ran, aku tak
bermaksud mengungkit masa lalumu, aku tak ingin kau sedih”
“Nggak apa-apa Nay, suatu hari nanti
kau pasti tahu, dan semoga kau masih mau berteman denganku pada hari itu”
“Iya! Pasti! Kita akan berteman
selamanya. Jika butuh teman, datang saja padaku. Ada aku untukmu Ran.”
Aku berusaha menghiburnya, namun Rania
justru malah langsung mendekapku, sebuah dekapan hangat dari seorang sahabat.
“Makasih Nay.” Bisiknya lirih.
Aku senang Ram, Rania mau
mempercayaiku, tapi....
Rama,
Sebenarnya ada satu alasan lain yang
membvuatku mengirim surat ini padamu. Aku ingin kau tahu apa yang tengah
berkecamuk di batin sahabatmu ini. Mungkin aku bisa menebak pendapatmu, namun
aku mohon Ram, berikan aku sebuah solusi,beri aku jalan keluar.
Rama, aku bingung sekali dengan apa
yang sedang berlaku pada diriku. Aku tak ingin menjalani perasaan terlarang
ini. Ya Ram, aku terlanjur mencintai Rania,menyayanginya lebih dari sekedar
sahabat. Aku yakin engkau pasti tahu bagaimana perasaan-perasaan membingungkan
yang menderaku saat ini. Tolonglah Ram, berikan aku titik terang agar aku
terhindar dari dosa ini. Aku bahkan tak pernah berpikir bagaimana aku bisa
mencintai sesama jenisku sendiri. Aku ingin tahu pendapatmu soal ini, dan
tolonglah... Tolong bantu aku keluar
dari kegelapan ini.
Sobat,
Aku rasa cukup ini dulu cerita lepasku.
Sebenarnya masih belum tuntas cerita yang ingin kusampaikan, namun tak apa,
setidaknya lekaslah kau balas surat ini. Aku butuh saran darimu.
Sekian
Sahabat kecilmu
Nayla Prasilia.
Rama kembali melipat kertas merah jambu
yang kini berpindah ke tangan kirinya dengan wajah penuh kerisauan. Bibirnya
tampak bergetar mencoba untuk bertutur, namun tak ada sedikit pun suara yang
mengapung di udara terdengar.
“Nayla, haruskah aku jujur bahwa Rania
adalah diriku? Haruskah aku mengatakan, bahwa aku mengikutimu ke kota beberapa
hari setelah keberangkatanmu? Aku mencintaimu Nay.” bisik Rama lirih.
Debur ombak masih saling bersahutan. Rama
berdiri meninggalkan bibir pantai yang kini diselimuti kain malam. Tak tampak
lagi pasir yang ditempatinya tadi, hanya jejak langkah tak beraturan yang pergi
menjauh meninggalkan pantai dalam nyanyian ombaknya. Jejak yang mewakilkan kerinduan
pada seorang sahabat masa lalu.
*Lirik lagu peterpan, “Jauh Mimpiku.”
0 comments:
Post a Comment