Sunday 17 May 2015

Cinta Pertama Ayda



Pada ini, aku tak bisa mengurai dan menjelaskan apa yang kurasakan. Hatiku terasa sesak. Segala rasa benar–benar telah membelengguku. Senang bimbang, sedu, sedih, dan rasa tak percaya melebur lalu mengusik hatiku. Bahkan aku tak tahu apa nama perasaan ini, aku juga tak sanggup membendung airmata yang kini meleleh di pipiku. Ini airmata bahagia atau duka, aku pun tak mengerti.
            Dia kini sedang duduk di pelaminan, bersamaku. Bersanding sebagai sepasang pengantin yang ditaburi aneka warna bunga dan ucapan selamat dari semua orang yang dating memandang.
            Perkenalkan, lelaki dengan kumis tipis yang menggenggam jemariku ini adalah Mas Dani. Tiga belas tahun lalu ia adalah teman SMP-ku. Walau usianya beberapa bulan lebih muda dariku namun semenjak kita jadian ketika kelas VIII SMP aku telah terbiasa memanggilnya dengan sebutan “Mas” sebaliknya, ia memanggilku dengan sapaan “Dik”.
            “Apa kamu tak merasa geli dengan sapaan itu?” tanyanya suatu ketika.
            Aku hanya menggeleng dan tersenyum untuk menjawab pertanyaannya itu jujur saja kali pertama aku jatuh hati pada Mas Dani, entah mengapa hatiku seketika yakin bahwa ialah jodoh dari Tuhan untuku. Dan sekarang, harapanku di masa sekolah itu terbukti benarnya, setidaknya sekarang ia telah menjadi suamiku, imam dalam hidupku.
            Meski sempat berpisah namun perasaanku pada mas Dani tak pernah berubah. Ya tamat dari SMP, ia melanjutkan studinya di sebuah pondok pesantren di daerah Jawa Tengah, sedangkan aku menetap dan bersekolah di pinggiran kota Surabaya.
            Sesekali kami berkomunikasi melalui sepucuk surat yang saling berkabar tentang keadaan. Biasanya Mas Dni mengirim surat padaku di awal tiap–tiap bulan hijriyah dan itu adalah momen yang selalu kutunggu.
            Di pondok tempat Mas Dani belajar memang ada larangan keras membawa handphone jadi kami berkomunikasi dengan berkirim surat. Awalnya cukup merepotkan menurutku, namun lama–kelamaan, aku malah senang dengan cara ini. Lebih berkesan pikirku.
            Selama berpacaran Mas Dani tak pernah mengajakku jalan Bahkan menyentuh tanganku hanya sekali dua kali, itu pun juga ketika masih SMP dulu.
            “Aku tak mau menyentuhmu, karena aku mencintaimu, Dik. Mas mencoba menghargai Adik sebagai seorang wanita”. Jelasnya padaku saat ia bertandang ke rumah. Jawaban yang amat lugu, namun kian membuatku jatuh hati pada lelaki berkecamata itu.
            Mas Dani memang tak pernah mengajakku jalan sebagaimana lazimnya muda–mudi yang berpacaran, namun sebagai gantinya. Ia akan bertamu ke rumahku ketika ia punya cukup waktu di masa liburannya yang relatif singkat. Aku sendiri tak pernah mempersalahkan ihwal pertemuan yang jarang itu. Aku percaya meskipun Mas Dani berada nun di sana, ia akan tetap menjaga hatinya buatku, sebagaimana halnya yang kulakukan ini.
            Selama bertahun–tahun menjalani LDR--hubungan jarak jauh--kami tak pernah mendapat masalah yang menggangu hubungan kami. Justru hubungan kami malah mendapat ujian ketika suatu sore Mas Dani bertamu ke rumahku.
            Pada itu, langit mulai menguning. Burung di angkasa juga mulai beranjak pulang ke sarangnya. Suara nyaring kicaunya cukup ampuh untuk menentramkan jiwa–jiwa yang lelah carai bekerja.
            Sepulang dari berziarah di makam nenek, aku terkejutkan dengan sepeda motor biru yang parkir di depan rumahku sepeda, motor yang tentunya tak asing lagi bagiku. Tapi tumben sekali Mas Dani tak mengabariku kalau ia akan ke rumah. Diburu rasa penasaran, kukayuh sepeda onthelku lebih cepat dan …
            “Mas Dani …eh, assalamu’alaikum” ucapku gugup
            “Walaikumum salam”. Balasanya sambil terseyum ke arahku, “baru pulang. Dik?” lanjutanya.
            “Iya, Mas. Rindi tadi dari makam” jawabku sambil mengambil tempat duduk yang bersebrangan dengan Mas Dani.
            Dari ruang tengah, Ayda–adik perempuanku–datang dengan sepiring cemilan dan segelas es jeruk.
            “ Silahkan, Mas” ucapan Ayda lirih.” Mbak kok lama sekali kasihan kan Mas Dani nunggunnya …" sambung Ayda. Di sore yang cerah itu ibu juga ikut ngobrol dengan Mas Dani. Suasana amat cair, apalagi tampaknya ibu sudah tahu tentang hubunganku dengan Mas Dani yang selama ini aku sembunyikan dari beliau.
            Namun, ada hal yang tak biasa dan cukup membuatku merasa heran ketika melihat Ayda begitu terbuka apalagi bicara lepas. Baru kali ini aku melihat Ayda secerah ini. Perlu diketahui, usia Ayda dengan usiaku selisih dua tahun. Karena bersekolah di SMP yang sama, ia pun cukup mengenal Mas Dani, namun sikapnya amat acuh.
            Pernah suatu ketika saat aku hendak curhat pada Ayda tentang Mas Dani, eh dengan entengnya ia maleh berdiri lalu beranjak pergi begitu saja meninggalkanku.
            “Ayda ndak mau dengar cerita tentang Mas Dani, pasti intinya nanti juga sama.” ucapanya lirih dan sukses membuatku jengkel.
            Penasaran dengan “sifat barunya” ini aku pun langsung bertanya padanya usai Mas Dani berpamitan.
            “Tumben Ayda ramah banget kenapa?”
            “Ramah? Nggak ah biasa aja kok mbak.”
            “Hem … biasanya saja kalau dengar kata, Mas Dani langsung ngacir pergi.”
        “Ayda kan Cuma berusaha menerima calon kakak  ipar Ayda.” Ujarnya lalu tertawa dan menggalkanku masuk ke rumah.
            Semenjak kejadian itu sikap Ayda benar–benar berubah bahkan tak jarang ia bertanya padaku tentang mas Dani, ia juga sering bertanya kapan kekasihku itu akan mampir lagi ke rumah.
            Sejujurnya, aku merasa sedikit curiga pada Ayda, lebih tepat lagi khawatir kalau ia jatuh cinta pada Mas Dani. Ah, apa ini …aku cemburu pada adikku sendiri? Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada diriku ini.
            Kucurigaanku pada Ayda rupanya benar terbukti walau ia tak mengatakan secara langsung dari gerak–geriknya aku tahu kalau ia sedang kasmaran, dan yang merisaukan hatiku, cinta pertama Ayda adalah kekasihku, Mas Dani.
            Saat sedang melamun, tanpa sadar jari telanjuknya bergerak seolah menulis kata “ Dani & ayda’ yang dilingkupi sekitarnya dengan garis berbentuk hati.
            “ Kamu ngapain Ay” tanyaku mengagetkannya
            “ Eh, Mbak Rindi. Nggak kok … nggak apa–apa ?”
             “ Jujur sama mbah, Ayda sedang jatuh cinta kan ?” terlaku spontan.
            Ia hanya menggeleng kepala lalu pergi ke kamarnya.
            Ah, Tuhan … kenapa ini ? aku tak mengerti mengapa aku begitu khawatir Ayda akau merebut Mas dani dariku? Bukankah selama bertahun–tahun ini hubungan kami baik–baik saja. Bahkan saat kuliah pun Mas dani mampu pula untuk menjaga hatinya untuku. Lalu, mengapa harus Ayda yang merenggangkan hubungan antara kami berdua?
            Hatiku kian bergejolak saat kutahu bahwa ayda sering menelfon Mas Dani sebelum ini, akau tak pernah menaruh sedikitpun rasa curiga pada Mas dani namun akhir – akhir ini hatiku tak bisa tenang. Setiap detik adalah ke khawatiran, kegelisahan serta kecungaan pada adikku sendiri, pada Ruwayda Anjani.
*  * *
            Dalam belenggu kecemburuan, aku mencoba meminta kejelasan dari Mas Dani memastikan ihwal hatinya kuteleponlah ia segera
            “ Tut …
“Iya Assalamu’alaiku ada apa dik?”
“ Mas …” suaraku tiba – tiba memberat dan menjadi sesak karena menahan tangis.
“ Dik … kok menangis kenapa? ada masalah?
“ … adik takut kehilangan Mas”
“Dik Rindi …adik tak percaya sama aku? Bukankah selama ini hatinya Mas sampean yang menjaga?
“Adik percaya, tapi …adik takut. Ini soal Ayda Mas!
“ Ayda kenap ?
“ Ayda jatuh cinta pada Mas Dani.”
“ Ha … ha… yang benar saja. Jangan ngomong yang tidak–tidak ….” Mas Dani terdengar tak percaya dengan ucapanku .
“Rindi serius Mas!”
“Dik, percayalah … cinta mas Cuma buat Rindi seorang bukan yang lain, termasuk Ayda.” Ucapanya tegas.
Mendengar hal itu, hatiku menjadi agak lega. Setidaknya aku bisa kembali membangun keyakinan bahwa Mas dani benar – benar tak punya perasaan khusus pada Ayda.
“Mas Dani …” ucapan lirih
“Iya dik …”
“ Nikahi aku, Mas”
Pernikahan ya, mungkin itulah satu–satunya jalan yang mampu membuat hatiku tenang. Dan tentunya dengan langkah itu aku akan dapat memiliki Mas dani seutuhnya Toh usia kami juga sudah cukup matang untuk mulai membangun rumah tangga, jadi tiada salahnya aku meminta Mas dani agar segera menikahiku.
Atas permintaanku itu perlu tiga hati bagi Mas dani untuk menyetujuinya. Aku memaklumnya tentang pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah, dan ibadah itulah boleh dilakukan asal–asalan, apalagi latarbelakang pesantren yang dimiliki Mas dani, tentunya akan membuatnya berpikir matang sebelum akhirnya berkata “ setuju”
* * *
Tepat seminggu setelah Mas Dani menyetujui permintaanku, bersama kedua orang tuanya, ia berkunjung ke rumahku dan melamarku. Duhai Tuhan betapa senangnya hati ini sebab orang yang aku cintai telah datang bertatap muka dengan orang tuaku dan tak lama lagi aku akan menikah dengannya.
Meskipun singkat dengan segala basa – basi dan babibu-nya, akhirnya ayah sepakat pernikahan kami akan dilangsungkan tanggal 18 Januari itu artinya tiga minggu lagi sejak hari ini. Mestinya menurutku terlalu lama, namun tak apalah, toh semua jga perlu persiapan.
Tak perlu menunggu lagi, undangan pernikahan telah disebar dengan pencantuman hari yang telah ditentukan. Hampir semua keluargaku, baik dari ayah maupun ibu memberiku selamat kecuali satu …Adik kandungku Ruwayda.
Semenjak Mas Dani datang melamarku, wajahnya tampak selalu masam. Awalnya aku tak ingin terlalu memikirkannya, namun lama kelamaan kelakuannya membuat hatiku tak tenang.
Lima hari sudah Ayda tak keluar dari kamarnya. Selain untuk berwudlu, bahkan untuk makan pun aku jarang melihatnya keluar aku jadi merasa berdosa padanya.
“Ayda, kamu kenapa ?”
Ia hanya menggeleng lalu memaligkan mukanya dariku aku ikut terdiam, kuperhatikan perlahan – lahan pipinya basah oleh airmata yang jatuh dari katupan kelopak matanya. Ia sodorkan padaku secarik kertas yang terlipat harisontal.
Tuhan, aku belum pernah jatuh cinta pada selain orang tuaku dan utusan-Mu dan kini, aku telah mendapati persaan indah itu menghiasi hatiku, namun mengapa harus Mas Dani yang menghadirkan perasaan itu padaku Tuhan?

Aku takut menyakiti kak Rindi namun aku tak sanggup menyembunyikan persaan cinta ini, dan kemarin Mas Dani telah melamar kak Rindi, itu artinya tertutup sudah kesempatan bagiku untuk memperjuangkan cintaku. Tuhan, berilah aku kekuatan, Engkau yang Maha Bijaksana, bahagiakanlah kami semua.
  Lidahku terasa kaku dan tak mampu berucap kata. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan apalagi kini aku telah benar–benar tahu bahwa Ruwayda juga mencntai Mas Dani. Apa aku harus mengalah untuknya, dan itu artinya aku harus merelakan penantianku demi perasaan adikku. Atau aku harus tetap kukuh pada pendirianku dan aitu artinya akau akan melukai adikku. Tuhan sungguh berat cobaan yang kau berikan ini …
* * *
Bersambung....
Lanjutkan Membaca Cerepen Cinta Pertama Ayda (end)

Bagikan:

0 comments: