Pada ini, aku
tak bisa mengurai dan menjelaskan apa yang kurasakan. Hatiku terasa sesak.
Segala rasa benar–benar telah membelengguku. Senang bimbang, sedu, sedih, dan
rasa tak percaya melebur lalu mengusik hatiku. Bahkan aku tak tahu apa nama
perasaan ini, aku juga tak sanggup membendung airmata yang kini meleleh di
pipiku. Ini airmata bahagia atau duka, aku pun tak mengerti.
Dia kini sedang duduk di pelaminan,
bersamaku. Bersanding sebagai sepasang pengantin yang ditaburi aneka warna
bunga dan ucapan selamat dari semua orang yang dating memandang.
Perkenalkan, lelaki dengan kumis
tipis yang menggenggam jemariku ini adalah Mas Dani. Tiga belas tahun lalu ia
adalah teman SMP-ku. Walau usianya beberapa bulan lebih muda dariku namun
semenjak kita jadian ketika kelas VIII SMP aku telah terbiasa memanggilnya dengan
sebutan “Mas” sebaliknya, ia memanggilku dengan sapaan “Dik”.
“Apa kamu tak merasa geli dengan
sapaan itu?” tanyanya suatu ketika.
Aku hanya menggeleng dan tersenyum
untuk menjawab pertanyaannya itu jujur saja kali pertama aku jatuh hati pada
Mas Dani, entah mengapa hatiku seketika yakin bahwa ialah jodoh dari Tuhan
untuku. Dan sekarang, harapanku di masa sekolah itu terbukti benarnya,
setidaknya sekarang ia telah menjadi suamiku, imam dalam hidupku.
Meski sempat berpisah namun
perasaanku pada mas Dani tak pernah berubah. Ya tamat dari SMP, ia melanjutkan
studinya di sebuah pondok pesantren di daerah Jawa Tengah, sedangkan aku
menetap dan bersekolah di pinggiran kota Surabaya.
Sesekali kami berkomunikasi melalui
sepucuk surat yang saling berkabar tentang keadaan. Biasanya Mas Dni mengirim
surat padaku di awal tiap–tiap bulan hijriyah dan itu adalah momen yang
selalu kutunggu.
Di pondok tempat Mas Dani belajar
memang ada larangan keras membawa handphone jadi kami berkomunikasi dengan
berkirim surat. Awalnya cukup merepotkan menurutku, namun lama–kelamaan, aku
malah senang dengan cara ini. Lebih berkesan pikirku.
Selama berpacaran Mas Dani tak
pernah mengajakku jalan Bahkan menyentuh tanganku hanya sekali dua kali, itu
pun juga ketika masih SMP dulu.
“Aku tak mau menyentuhmu, karena aku
mencintaimu, Dik. Mas mencoba menghargai Adik sebagai seorang wanita”. Jelasnya
padaku saat ia bertandang ke rumah. Jawaban yang amat lugu, namun kian membuatku
jatuh hati pada lelaki berkecamata itu.
Mas Dani memang tak pernah
mengajakku jalan sebagaimana lazimnya muda–mudi yang berpacaran, namun
sebagai gantinya. Ia akan bertamu ke rumahku ketika ia punya cukup waktu di
masa liburannya yang relatif singkat. Aku sendiri tak pernah mempersalahkan
ihwal pertemuan yang jarang itu. Aku percaya meskipun Mas Dani berada nun di
sana, ia akan tetap menjaga hatinya buatku, sebagaimana halnya yang kulakukan
ini.
Selama bertahun–tahun menjalani
LDR--hubungan jarak jauh--kami tak pernah mendapat masalah yang menggangu hubungan
kami. Justru hubungan kami malah mendapat ujian ketika suatu sore Mas Dani
bertamu ke rumahku.
Pada itu, langit mulai menguning.
Burung di angkasa juga mulai beranjak pulang ke sarangnya. Suara nyaring kicaunya cukup ampuh untuk menentramkan jiwa–jiwa yang lelah carai bekerja.
Sepulang dari berziarah di makam
nenek, aku terkejutkan dengan sepeda motor biru yang parkir di depan rumahku
sepeda, motor yang tentunya tak asing lagi bagiku. Tapi tumben sekali Mas Dani
tak mengabariku kalau ia akan ke rumah. Diburu rasa penasaran, kukayuh sepeda
onthelku lebih cepat dan …
“Mas Dani …eh, assalamu’alaikum”
ucapku gugup
“Walaikumum salam”. Balasanya sambil
terseyum ke arahku, “baru pulang. Dik?” lanjutanya.
“Iya, Mas. Rindi tadi dari makam”
jawabku sambil mengambil tempat duduk yang bersebrangan dengan Mas Dani.
Dari ruang tengah, Ayda–adik
perempuanku–datang dengan sepiring cemilan dan segelas es jeruk.
“ Silahkan, Mas” ucapan Ayda lirih.”
Mbak kok lama sekali kasihan kan Mas Dani nunggunnya …" sambung Ayda. Di sore yang cerah itu
ibu juga ikut ngobrol dengan Mas Dani. Suasana amat cair, apalagi tampaknya ibu
sudah tahu tentang hubunganku dengan Mas Dani yang selama ini aku sembunyikan
dari beliau.
Namun, ada hal yang tak biasa dan
cukup membuatku merasa heran ketika melihat Ayda begitu terbuka apalagi bicara lepas. Baru kali ini aku melihat
Ayda secerah ini. Perlu diketahui, usia Ayda dengan usiaku selisih dua tahun. Karena bersekolah di SMP yang sama, ia pun cukup mengenal Mas Dani, namun
sikapnya amat acuh.
Pernah suatu ketika saat aku hendak
curhat pada Ayda tentang Mas Dani, eh dengan entengnya ia maleh berdiri lalu
beranjak pergi begitu saja meninggalkanku.
“Ayda ndak mau dengar cerita tentang
Mas Dani, pasti intinya nanti juga sama.” ucapanya lirih dan sukses membuatku
jengkel.
Penasaran dengan “sifat barunya” ini
aku pun langsung bertanya padanya usai Mas Dani berpamitan.
“Tumben Ayda ramah banget kenapa?”
“Ramah? Nggak ah biasa aja kok
mbak.”
“Hem … biasanya saja kalau dengar
kata, Mas Dani langsung ngacir pergi.”
“Ayda kan Cuma berusaha menerima
calon kakak ipar Ayda.” Ujarnya lalu
tertawa dan menggalkanku masuk ke rumah.
Semenjak kejadian itu sikap Ayda
benar–benar berubah bahkan tak jarang ia bertanya padaku tentang mas Dani, ia
juga sering bertanya kapan kekasihku itu akan mampir lagi ke rumah.
Sejujurnya, aku merasa sedikit
curiga pada Ayda, lebih tepat lagi khawatir kalau ia jatuh cinta pada Mas Dani.
Ah, apa ini …aku cemburu pada adikku sendiri? Aku tak bisa membayangkan apa
yang terjadi pada diriku ini.
Kucurigaanku pada Ayda rupanya benar
terbukti walau ia tak mengatakan secara langsung dari gerak–geriknya aku tahu
kalau ia sedang kasmaran, dan yang merisaukan hatiku, cinta pertama Ayda adalah
kekasihku, Mas Dani.
Saat sedang melamun, tanpa sadar
jari telanjuknya bergerak seolah menulis kata “ Dani & ayda’ yang
dilingkupi sekitarnya dengan garis berbentuk hati.
“ Kamu ngapain Ay” tanyaku
mengagetkannya
“ Eh, Mbak Rindi. Nggak kok … nggak
apa–apa ?”
“ Jujur sama mbah, Ayda sedang jatuh cinta kan
?” terlaku spontan.
Ia hanya menggeleng kepala lalu
pergi ke kamarnya.
Ah, Tuhan … kenapa ini ? aku tak
mengerti mengapa aku begitu khawatir Ayda akau merebut Mas dani dariku? Bukankah selama bertahun–tahun ini hubungan kami baik–baik saja. Bahkan saat
kuliah pun Mas dani mampu pula untuk menjaga hatinya untuku. Lalu, mengapa
harus Ayda yang merenggangkan hubungan antara kami berdua?
Hatiku kian bergejolak saat kutahu
bahwa ayda sering menelfon Mas Dani sebelum ini, akau tak pernah menaruh sedikitpun
rasa curiga pada Mas dani namun akhir – akhir ini hatiku tak bisa tenang.
Setiap detik adalah ke khawatiran, kegelisahan serta kecungaan pada adikku
sendiri, pada Ruwayda Anjani.
* * *
Dalam belenggu kecemburuan, aku
mencoba meminta kejelasan dari Mas Dani memastikan ihwal hatinya kuteleponlah ia
segera
“ Tut …
“Iya
Assalamu’alaiku ada apa dik?”
“
Mas …” suaraku tiba – tiba memberat dan menjadi sesak karena menahan tangis.
“
Dik … kok menangis kenapa? ada masalah?
“ …
adik takut kehilangan Mas”
“Dik
Rindi …adik tak percaya sama aku? Bukankah selama ini hatinya Mas sampean yang
menjaga?
“Adik
percaya, tapi …adik takut. Ini soal Ayda Mas!
“
Ayda kenap ?
“
Ayda jatuh cinta pada Mas Dani.”
“ Ha
… ha… yang benar saja. Jangan ngomong yang tidak–tidak ….” Mas Dani terdengar
tak percaya dengan ucapanku .
“Rindi serius Mas!”
“Dik, percayalah … cinta mas Cuma buat Rindi seorang bukan yang lain, termasuk
Ayda.” Ucapanya tegas.
Mendengar
hal itu, hatiku menjadi agak lega. Setidaknya aku bisa kembali membangun
keyakinan bahwa Mas dani benar – benar tak punya perasaan khusus pada Ayda.
“Mas Dani …” ucapan lirih
“Iya
dik …”
“
Nikahi aku, Mas”
Pernikahan
ya, mungkin itulah satu–satunya jalan yang mampu membuat hatiku tenang. Dan
tentunya dengan langkah itu aku akan dapat memiliki Mas dani seutuhnya Toh usia
kami juga sudah cukup matang untuk mulai membangun rumah tangga, jadi tiada
salahnya aku meminta Mas dani agar segera menikahiku.
Atas
permintaanku itu perlu tiga hati bagi Mas dani untuk menyetujuinya. Aku
memaklumnya tentang pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah, dan ibadah
itulah boleh dilakukan asal–asalan, apalagi latarbelakang pesantren yang
dimiliki Mas dani, tentunya akan membuatnya berpikir matang sebelum akhirnya
berkata “ setuju”
* * *
Tepat
seminggu setelah Mas Dani menyetujui permintaanku, bersama kedua orang tuanya,
ia berkunjung ke rumahku dan melamarku. Duhai Tuhan betapa senangnya hati ini
sebab orang yang aku cintai telah datang bertatap muka dengan orang tuaku dan
tak lama lagi aku akan menikah dengannya.
Meskipun
singkat dengan segala basa – basi dan babibu-nya, akhirnya ayah sepakat
pernikahan kami akan dilangsungkan tanggal 18 Januari itu artinya tiga minggu
lagi sejak hari ini. Mestinya menurutku terlalu lama, namun tak apalah, toh
semua jga perlu persiapan.
Tak
perlu menunggu lagi, undangan pernikahan telah disebar dengan pencantuman hari
yang telah ditentukan. Hampir semua keluargaku, baik dari ayah maupun ibu
memberiku selamat kecuali satu …Adik kandungku Ruwayda.
Semenjak
Mas Dani datang melamarku, wajahnya tampak selalu masam. Awalnya aku tak ingin
terlalu memikirkannya, namun lama kelamaan kelakuannya membuat hatiku tak
tenang.
Lima
hari sudah Ayda tak keluar dari kamarnya. Selain untuk berwudlu, bahkan untuk
makan pun aku jarang melihatnya keluar aku jadi merasa berdosa padanya.
“Ayda,
kamu kenapa ?”
Ia
hanya menggeleng lalu memaligkan mukanya dariku aku ikut terdiam, kuperhatikan
perlahan – lahan pipinya basah oleh airmata yang jatuh dari katupan kelopak
matanya. Ia sodorkan padaku secarik kertas yang terlipat harisontal.
Tuhan, aku belum pernah jatuh cinta pada selain orang tuaku dan
utusan-Mu dan kini, aku telah mendapati persaan indah itu menghiasi hatiku,
namun mengapa harus Mas Dani yang menghadirkan perasaan itu padaku Tuhan?
Aku takut menyakiti kak Rindi namun aku tak sanggup menyembunyikan
persaan cinta ini, dan kemarin Mas Dani telah melamar kak Rindi, itu artinya
tertutup sudah kesempatan bagiku untuk memperjuangkan cintaku. Tuhan, berilah
aku kekuatan, Engkau yang Maha Bijaksana, bahagiakanlah kami semua.
Lidahku terasa kaku dan tak mampu berucap
kata. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan apalagi kini aku telah benar–benar tahu bahwa Ruwayda juga mencntai Mas Dani. Apa aku harus mengalah
untuknya, dan itu artinya aku harus merelakan penantianku demi perasaan adikku.
Atau aku harus tetap kukuh pada pendirianku dan aitu artinya akau akan melukai
adikku. Tuhan sungguh berat cobaan yang kau berikan ini …
* * *
Bersambung....Lanjutkan Membaca Cerepen Cinta Pertama Ayda (end)
0 comments:
Post a Comment