Saturday 23 May 2015

Cinta Pertama Ayda (end)

Hari pernikahanku kian dekat namun sikap ayda masih dingin padaku. Beberapa kali kucoba menyapa, mengajak makan atau sekedar mengajak keluar dari kamar untuk jalan–jalan. Tapi, ia selalu menolak tanpa berucap satu pun kata. Hanya menggeleng lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Tentang Ruwayda ini aku belum berani bercerita pada siaapa pun, termasuk pada ayah–ibu apalagi Mas dani. Aku khawatir keresahan akan menghampiri mereka. Jadi, aku lebih memilih diam dan menyimpan rapat permasalahan ini.
Sayangnya kelihaianku menutupi masalah ini tak berlangsung lama. Sebab tak selang berapa lama, ibu mulai curiga terhadap kami. Apalagi kesehatan ayda yang secara drastic menurun, kian menguatkan kecurigaan ibu. Pun tahu demikian, tampaknya ibu juga memilih untuk diam terlebih dahulu sembari membawa Ayda ke rumah sakit untuk diperiksa keadaannya.
Keadaan kian memburuk saat dokter memberikan keterangan tentang penyakit Ayda. Menurut dokter infeksi saluran pernafasan akut yang di idap Ayda sejak kecil mulai kambuh lagi dan cukup parah. Ditambah lagi infeksi pada lambungnya akibat makan tak teratur menjadikan tubuh ramping Ayda terbaring tak berdaya.
Kabar itu membuat ayah dan ibu tersentak. Keadaan Ayda yang memburuk ini, bisa jadi akan menghambat rencana pernikahanku, bahkan mungkin terancam gagal! Karena tak mungkin aku berbahagia di atas kepedihan adikku.
* * *
Kalender bulan Januari telah menunjuk angka ke–17. Tepat sehari sebelum acara pernikahan sebagaimana yang tercantum di undangan yang telah disebar. Namun kepastian akan hari esok masih jadi mesteri bagiku.
Sejak sore kamarin Mas Dani menemaniku menginap di rumah sakit. Karena keadaan kian rumit seperti ini, mau tidak mau aku terpaksa menceritakan semua tentang Ayda pada Mas Dani, termasuk keadaannya.
Adikku sendiri masih belum sadar sejak tiga hari kemarin. Di hidungnya masih tertempel selang oksigen untuk membantunya bernapas. Sejujurnya aku amat prihatin melihat keadaan adikku. Ia begitu teriksa karena cinta pertamanya.
“Ada yang bernama Dani ?” Tanya seorang suster mengagetkan aku, ayah, ibu serta Mas Dani yang duduk di bangku koridor.
“ Saya, sus…” ucapan Mas Dani.
Suster tersebut memberi isyarat pada kami untuk masuk ke ruangan Ayda. Sebenarnya syarat itu lebih khusus ditujukan pada Mas Dani. Namun rasa khawatir telah menutup jalan pikir kami.
“Mas Dani…Mas Dani…” setengah sadar Ayda menyebut nama kekasihku berulang – ulang.
 “Iya Ayda, Mas ada di sampingmu.” ucap Mas dani sambil menggenggam telapak tangan Ayda yang tersambung dengan selang infus.
“Maafkan Ayda … Ayda jatuh cinta pada Mas Dani …” ucap Ayda lemas dan terbata–bata.
Mas Dani melempar pandangannya ke arahku. Semua yang ada di ruangan terdiam. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Yang mampu kulakukan hanya menahan tangis dan memundukkan kepalaku, mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
“Ayah, ibu, Ayda ingin pulang sekarang. Ayda ingin melihat Mbak Rindi menikah dengan Mas Dani.”
“Tapi Ayda belum sembuh …” ucap ayah lembut.
“Percayalah. Ayda tak apa–apa. Ini permintaan Ayda...”
Aku tetap dalam diamku. Akhirnya ayah meminta pertimbangan dokter yang bertugas saat itu. Dan dengan segala pertimbangan, dokter pun mengijinkan Ayda pulang malam itu juga. Dan menjalani rawat jalan.
* * *
Adzan Isya' telah berkumandang. Bersamaan dengan kepulangan kami dari rumah sakit. Dengan amat hati–hati aku dan Mas Dani membantu Ayda berjalan menuju ke kamarnya untuk beristirahat.
Rupanya segala acara pernikahan telah dipersiapakan dengan baik oleh keluarga Mas Dani. Tinggal menghitung jam saja aku akan mendengar lafal ijab–Kabul diucapkan. Sayangnya bukan bahagia yang kurasa malah kebimbangan dan kegusaran yang kudera.
“ Ayah, ibu… Mas Dani ..” kebimbanganku angkat bicara, seketika semuanya menoleh namun terpatung diam.
“ Ijinkan Rindi … menyerahakan hari bahagia besok untuk Ayda…”
“ Maksud kamu apa Nduk?” Tanya ayah
“Mas Dani nikahilah Ayda…”
Senyap menyelimuti ruangan kami berbincang
“Adik bercanda kan ?”
“Adik serius Mas!, Bahagiakanlah Ayda! Demi aku, Mas.”
“Tapi Dik …
“Rindi yakin …?” Tanya ibu
“Insyaallah, ini pilihan Rindi … dan Mas, kumohon kabulkanlah permintaan ini, demi cintaku pada Mas…”
Mas Dani tampak linglung. Ia tamapak belum dapat percaya apalagi menerima tentang apa yang baru saja aku ucapkan.
“Rindi tahu ini berat. Tapi, ini untuk kebaikan kita semua. Biarkan saat Ayda bangun nanti ia menjadi pengantin untuk Mas Dani.”
Kekasihku itu pun tertunduk diam sebelum akhirnya berkata dengan suara yang cukup lirih, “Baiklah.”
“Kamu yakin, Nak ?” ayah memastikan. Dan Mas Dani cukup menjawab dengan sekali anggukan kepala.
* * *
Di rumah Mas Dani, segala persiapan telah sempurna. Di pagi yang masih hangat itu merdu terdengar lagu “Pengantin Baru” yang diputar berkali–kali.
Dengan wajah sedikit pasi, Ayda nampak begitu anggun dengan pakaian putih khas mempelai wanita. Jilbab dengan warna senada dengan pakainya turut mempercantik wajah oval manisnya.
Meski hatiku masih sesak dengan semua ini, namun kucoba untuk tetap tersenyum sambil membantu adikku berjalan menuju tempat dilaksanakannya ijab–kabul.
Beberapa tamu undangan nampak bingung mendapati kejadian ini. Tentu saja hal itu wajar, karena yang tertulis di undangan adalah namaku dan Mas Dani, bukan Ruwayda Anjani, adikku. Namun, hal itu tak sedikit pun berpengaruh pada keteguhanku.
“Dik, maafkan aku …” undang Mas Dani sambil menatap mataku cukup dalam.
“Sudahlah, mungkin semua ini memang jalan dari Allah mulai sekarang panggil aku “Mbak” bukan “Dik” lagi …”
“…”
“Sudahlah… Dani, ikhlaskan hatimu, bukankah kamu yang dulu mengajariku tentang keikhlasan menerima takdir?” kuhela napasku panjang.
“Iya dik… eh … Mbak Rindi … Insyaallah, do’akan aku.”
Aku bersyukur, orang tua Mas Dani dapat dengan legawa menerima semua ini. mereka adalah orangtua yang amat baik.
“ Sudah siap, Pak ?” Tanya Kiai Yusuf, teman Ayah Mas Dani yang akan menjadi penghulu pernikahan adikku hari ini.
“Iya Kiai, silakan dimulai.“ ucap pak Harun, Ayah, Mas Dani.
Mas Dani dan Ayda duduk berdampingan menghadap sebuah meja kecil yang tepat menghadap ke arah Kiai Yusuf.
“ Sudah siap, Mas …?” Tanya Kiai
“ Insyaallah Kiai”.
“ Baiklah …”. Semua hadirin terdiam dan memakukan pandangan mereka pada Mas Dani dan Kiai Yusuf yang saling berjbat tangan.
“ Bismillahirrohmanirrohim…”
“Tunggu sebentar Kyai…” suara Ayda yang lemah itu memontong ucapan Kyai Yusuf.
“Maaf, belum selayaknya saya duduk di sini, silahkan Mbak Rindi …” Ayda mencoba berdiri dan seolah mempersilahkan diriku untuk mengantikan posisinya di sebelah Mas Dani.
Semua tamu terdiam memandangi kami
“Ayo Mbak …” ucap Ayda menyakinknku dengan seyuman manisnya.
“Tidak Ayda, Mbak sudah ikhlas kamu menikah dengan Mas Dani …”
“Sudahlah … Ayda lebih ikhlas lagi menerima Mas Dani sebagai kakak, bukan suami Ayda.”
Baiklah, sekarang aku lebih canggung dan bingung. Sejenak aku terdiam, termangu dengan segala yang berlaku belakangan ini. 
“Ayolah mbak... “ tangan Ayda meraih lalu menggenggam tanganku.
“Ayda keluar dari rumah sakit bukan untuk menikah, tapi Ayda ingin melihat mbak menikah dengan orang yang mbak cintai selama ini.”
Aku masih terdiam. Airmataku menetes hangat di kedua belah pipiku. Spontan kupeluk tubuh ringkih Ruwayda erat-erat. Beberapa tamu yang melihat kami tampak mengusap kedua matanya yang berlinang airmata pula.
“Mas Dani, ajak Mbak Rindi duduk.. ayo...” ucap Ayda sambil melepas pelukanku lalu tersenyum.
Tanpa menunggu lagi, aku langsung duduk di sebelah kiri Mas Dani. Sejurus kemudian, Kyai Yusuf kembali menggenggam tangan Mas Dani lalu mengucapkan lafadz ijab yang disambung dengan lafadz qobul yang diucapkan dengan lancar oleh Mas Dani.
“Bagaimana saksi, sah?” tanya Kiai Yusuf pada para saksi pernikahan.
Dan semuanya serempak menjawab “sah”. Terima kasih Ya Allah, aku tak tahu harus dengan apa kuungkapkan kebahagianku ini.
Kiai Yusuf kemudian melantunkan do'a yang cukup panjang usai aku mengecup tangan Mas Dani. Semua hadirin ikut mengucapkan, “amin” dan mengangkat kedua tangannya. Termasuk Ayda. Namun....
Usai berdo'a keperhatikan tangan Ayda tak ia usapkan pada wajahnya sebagaimana lazimnya orang berdo'a.
Kedua tangannya masih mengatup menjadi satu di pangkuannya. Ayda tak bergerak, matanya juga masih terpejam. Oh, Ya Allah....!

                                                                                                            Rania el-Amina

                                                                                                            3 September 2014
Bagikan:

0 comments: