Hari pernikahanku kian dekat namun sikap ayda masih dingin padaku.
Beberapa kali kucoba menyapa, mengajak makan atau sekedar mengajak keluar dari
kamar untuk jalan–jalan. Tapi, ia selalu menolak tanpa berucap satu pun kata.
Hanya menggeleng lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Tentang Ruwayda ini aku belum berani bercerita pada siaapa pun, termasuk
pada ayah–ibu apalagi Mas dani. Aku khawatir keresahan akan menghampiri mereka.
Jadi, aku lebih memilih diam dan menyimpan rapat permasalahan ini.
Sayangnya kelihaianku menutupi masalah ini tak berlangsung lama. Sebab
tak selang berapa lama, ibu mulai curiga terhadap kami. Apalagi kesehatan ayda
yang secara drastic menurun, kian menguatkan kecurigaan ibu. Pun tahu demikian,
tampaknya ibu juga memilih untuk diam terlebih dahulu sembari membawa Ayda ke
rumah sakit untuk diperiksa keadaannya.
Keadaan kian memburuk saat dokter memberikan keterangan tentang penyakit
Ayda. Menurut dokter infeksi saluran pernafasan akut yang di idap Ayda sejak
kecil mulai kambuh lagi dan cukup parah. Ditambah lagi infeksi pada lambungnya
akibat makan tak teratur menjadikan tubuh ramping Ayda terbaring tak berdaya.
Kabar itu membuat ayah dan ibu tersentak. Keadaan Ayda yang memburuk ini,
bisa jadi akan menghambat rencana pernikahanku, bahkan mungkin terancam gagal!
Karena tak mungkin aku berbahagia di atas kepedihan adikku.
* *
*
Kalender bulan Januari telah menunjuk angka ke–17. Tepat sehari sebelum
acara pernikahan sebagaimana yang tercantum di undangan yang telah disebar.
Namun kepastian akan hari esok masih jadi mesteri bagiku.
Sejak sore kamarin Mas Dani menemaniku menginap di rumah sakit. Karena
keadaan kian rumit seperti ini, mau tidak mau aku terpaksa menceritakan semua
tentang Ayda pada Mas Dani, termasuk keadaannya.
Adikku sendiri masih belum sadar sejak tiga hari kemarin. Di hidungnya
masih tertempel selang oksigen untuk membantunya bernapas. Sejujurnya aku amat
prihatin melihat keadaan adikku. Ia begitu teriksa karena cinta pertamanya.
“Ada yang bernama Dani ?” Tanya seorang suster mengagetkan aku, ayah, ibu
serta Mas Dani yang duduk di bangku koridor.
“ Saya, sus…” ucapan Mas Dani.
Suster tersebut memberi isyarat pada kami untuk masuk ke ruangan Ayda.
Sebenarnya syarat itu lebih khusus ditujukan pada Mas Dani. Namun rasa khawatir
telah menutup jalan pikir kami.
“Mas Dani…Mas Dani…” setengah sadar Ayda menyebut nama kekasihku berulang
– ulang.
“Iya Ayda, Mas ada di sampingmu.”
ucap Mas dani sambil menggenggam telapak tangan Ayda yang tersambung dengan
selang infus.
“Maafkan Ayda … Ayda jatuh cinta pada Mas Dani …” ucap Ayda lemas dan
terbata–bata.
Mas Dani melempar pandangannya ke arahku. Semua yang ada di ruangan
terdiam. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Yang mampu kulakukan hanya
menahan tangis dan memundukkan kepalaku, mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
“Ayah, ibu, Ayda ingin pulang sekarang. Ayda ingin melihat Mbak Rindi
menikah dengan Mas Dani.”
“Tapi Ayda belum sembuh …” ucap ayah lembut.
“Percayalah. Ayda tak apa–apa. Ini permintaan Ayda...”
Aku tetap dalam diamku. Akhirnya ayah meminta pertimbangan dokter yang
bertugas saat itu. Dan dengan segala pertimbangan, dokter pun mengijinkan Ayda
pulang malam itu juga. Dan menjalani rawat jalan.
* *
*
Adzan Isya' telah berkumandang. Bersamaan dengan kepulangan kami dari
rumah sakit. Dengan amat hati–hati aku dan Mas Dani membantu Ayda berjalan
menuju ke kamarnya untuk beristirahat.
Rupanya segala acara pernikahan telah dipersiapakan dengan baik oleh
keluarga Mas Dani. Tinggal menghitung jam saja aku akan mendengar lafal
ijab–Kabul diucapkan. Sayangnya bukan bahagia yang kurasa malah kebimbangan dan
kegusaran yang kudera.
“ Ayah, ibu… Mas Dani ..” kebimbanganku angkat bicara, seketika semuanya
menoleh namun terpatung diam.
“ Ijinkan Rindi … menyerahakan hari bahagia besok untuk Ayda…”
“ Maksud kamu apa Nduk?” Tanya ayah
“Mas Dani nikahilah Ayda…”
Senyap menyelimuti ruangan kami berbincang
“Adik bercanda kan ?”
“Adik serius Mas!, Bahagiakanlah Ayda! Demi aku, Mas.”
“Tapi Dik …
“Rindi yakin …?” Tanya ibu
“Insyaallah, ini pilihan Rindi … dan Mas, kumohon kabulkanlah permintaan
ini, demi cintaku pada Mas…”
Mas Dani tampak linglung. Ia tamapak belum dapat percaya apalagi menerima
tentang apa yang baru saja aku ucapkan.
“Rindi tahu ini berat. Tapi, ini untuk kebaikan kita semua. Biarkan saat
Ayda bangun nanti ia menjadi pengantin untuk Mas Dani.”
Kekasihku itu pun tertunduk diam sebelum akhirnya berkata dengan suara
yang cukup lirih, “Baiklah.”
“Kamu yakin, Nak ?” ayah memastikan. Dan Mas Dani cukup menjawab dengan
sekali anggukan kepala.
* *
*
Di rumah Mas Dani, segala persiapan telah sempurna. Di pagi yang masih
hangat itu merdu terdengar lagu “Pengantin Baru” yang diputar berkali–kali.
Dengan wajah sedikit pasi, Ayda nampak begitu anggun dengan pakaian putih
khas mempelai wanita. Jilbab dengan warna senada dengan pakainya turut
mempercantik wajah oval manisnya.
Meski hatiku masih sesak dengan semua ini, namun kucoba untuk tetap
tersenyum sambil membantu adikku berjalan menuju tempat dilaksanakannya
ijab–kabul.
Beberapa tamu undangan nampak bingung mendapati kejadian ini. Tentu saja
hal itu wajar, karena yang tertulis di undangan adalah namaku dan Mas Dani,
bukan Ruwayda Anjani, adikku. Namun, hal itu tak sedikit pun berpengaruh pada
keteguhanku.
“Dik, maafkan aku …” undang Mas Dani sambil menatap mataku cukup dalam.
“Sudahlah, mungkin semua ini memang jalan dari Allah mulai sekarang
panggil aku “Mbak” bukan “Dik” lagi …”
“…”
“Sudahlah… Dani, ikhlaskan hatimu, bukankah kamu yang dulu mengajariku
tentang keikhlasan menerima takdir?” kuhela napasku panjang.
“Iya dik… eh … Mbak Rindi … Insyaallah, do’akan aku.”
Aku bersyukur, orang tua Mas Dani dapat dengan legawa menerima
semua ini. mereka adalah orangtua yang amat baik.
“ Sudah siap, Pak ?” Tanya Kiai Yusuf, teman Ayah Mas Dani yang akan
menjadi penghulu pernikahan adikku hari ini.
“Iya Kiai, silakan dimulai.“ ucap pak Harun, Ayah, Mas Dani.
Mas Dani dan Ayda duduk berdampingan menghadap sebuah meja kecil yang
tepat menghadap ke arah Kiai Yusuf.
“ Sudah siap, Mas …?” Tanya Kiai
“ Insyaallah Kiai”.
“ Baiklah …”. Semua hadirin terdiam dan memakukan pandangan mereka pada
Mas Dani dan Kiai Yusuf yang saling berjbat tangan.
“ Bismillahirrohmanirrohim…”
“Tunggu sebentar Kyai…” suara Ayda yang lemah itu memontong ucapan Kyai
Yusuf.
“Maaf, belum selayaknya saya duduk di sini, silahkan Mbak Rindi …” Ayda
mencoba berdiri dan seolah mempersilahkan diriku untuk mengantikan posisinya di
sebelah Mas Dani.
Semua tamu terdiam memandangi kami
“Ayo Mbak …” ucap Ayda menyakinknku dengan seyuman manisnya.
“Tidak Ayda, Mbak sudah ikhlas kamu menikah dengan Mas Dani …”
“Sudahlah … Ayda lebih ikhlas lagi menerima Mas Dani sebagai kakak, bukan
suami Ayda.”
Baiklah, sekarang aku lebih canggung dan bingung. Sejenak aku terdiam,
termangu dengan segala yang berlaku belakangan ini.
“Ayolah mbak... “ tangan Ayda meraih lalu menggenggam tanganku.
“Ayda keluar dari rumah sakit bukan untuk menikah, tapi Ayda ingin
melihat mbak menikah dengan orang yang mbak cintai selama ini.”
Aku masih terdiam. Airmataku menetes hangat di kedua belah pipiku.
Spontan kupeluk tubuh ringkih Ruwayda erat-erat. Beberapa tamu yang melihat
kami tampak mengusap kedua matanya yang berlinang airmata pula.
“Mas Dani, ajak Mbak Rindi duduk.. ayo...” ucap Ayda sambil melepas
pelukanku lalu tersenyum.
Tanpa menunggu lagi, aku langsung duduk di sebelah kiri Mas Dani. Sejurus
kemudian, Kyai Yusuf kembali menggenggam tangan Mas Dani lalu mengucapkan
lafadz ijab yang disambung dengan lafadz qobul yang diucapkan dengan lancar
oleh Mas Dani.
“Bagaimana saksi, sah?” tanya Kiai Yusuf pada para saksi pernikahan.
Dan semuanya serempak menjawab “sah”. Terima kasih Ya Allah, aku tak tahu
harus dengan apa kuungkapkan kebahagianku ini.
Kiai Yusuf kemudian melantunkan do'a yang cukup panjang usai aku mengecup
tangan Mas Dani. Semua hadirin ikut mengucapkan, “amin” dan mengangkat kedua
tangannya. Termasuk Ayda. Namun....
Usai berdo'a keperhatikan tangan Ayda tak ia usapkan pada wajahnya
sebagaimana lazimnya orang berdo'a.
Kedua tangannya masih mengatup menjadi satu di pangkuannya. Ayda tak
bergerak, matanya juga masih terpejam. Oh, Ya Allah....!
Rania
el-Amina
3
September 2014
0 comments:
Post a Comment