Beberapa hari belakangan ini, di beberapa forum yang aku ikuti terdengar begitu riuh soal Pak Onno "yang menggugat" presiden RI. Beberapa media mengabarkan berita tersebut dan berujung pada debat kusir pada kolom komentarnya. Jika melihat cara mereka berkomentar, boleh aku katakan sebagian besar dari mereka yang berdebat tidak begitu paham apa yang merek kritiki dan apa yang mereka persalahkan.
Beberapa komentator yang moderat seringkali mengucapkan, “Semua hal kan ada positif dan negatifnya”. Untuk kali ini aku tidak terlalu tertarik untuk ikut berdebat mana yang salah mana yang benar. Semua bisa saja benar, tapi bisa juga salah. Anggap saja kita sedang berjudi tentang nasib masa depan yang akan terjadi pasca terjadinya MoU RI dengan Microsoft.
Aku memang pernah menulis soal surat tentang pengguna open source yang meminta perhatian dari pemimpin negeri. Namun, apalah arti surat bodoh itu. Usai mengikuti pesta rilis Ubuntu Wily kemarin, aku jadi terngiang-ngiang soal dukungan open source di Indonesia.
Sekarang, persetan dengan apa yang mau dilakukan oleh para petinggi negara. Jika itu dianggap yang terbaik, maka biarkanlah. Namun tetap saja, sebagai pengguna open source, aku merasa perlu adanya sedikit perubahan dalam tubuh komunitas yang telah berkembang cukup pesat.
Aku sempat kagum dengan apa yang telah dilakukan oleh tim GrombyangOS. Ya, mereka benar-benar terjun ke lapangan untuk memberikan sosialisasi tentang FOSS dan Linux. Anggaplah itu adalah contoh yang sederhana dan langkah pertama yang cukup baik dan perlu dilanjutkan serta di kembangkan.
Soal biaya? Untuk sebuah harapan kemerdekaan, tentu saja sedikit banyak ada biaya yang harus dikeluarkan. Orang Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea”. Tapi entah mengapa aku merasa nggak ikhlas kalau uang negara dilarikan keluar negeri untuk membeli perangat lunak dan embel-embel dukungan yang akan diberikan. Aku lebih senang kalau duit negara itu dipakai untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam negeri ini, di bidang apapun lah . . . asal bukan bidang suap dan korup lho!
Mereka lebih baik, ya tentu saja. Kacamata mereka adalah kacamata bisnis. Tapi ayolah, sampai kapan kita akan jadi konsumen. Seperti yang sudah pernah aku bilang sebelumnya, meski tak sebaik produk yang komersial, namun setidaknya kita mampu mengembangkan produk yang sepadan dan cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan perkomputeran sehari-hari. Jangan pernah lupa, ketika negara ini dibentuk, negara ini cuma punya modal semangat dan tindakan-tindakan pasti secara pelahan hingga terwujud keadaan seperti sekarang ini. Nah, lalu kenapa kita takut untuk membuat perubahan?
Maaf, maaf . . . Aku mulai nglantur, intinya ada atau tidak adanya dukungan pemerintah, bukanlah alasan bagi pengguna open source untuk berhenti berkarya. Menjadi pengguna fanatik, sesekali bukanlah masalah, asal fanatik yang memberikan solusi. Kita sudah memiliki lumayan banyak SDM dan karya-karya open source. Tinggal bagaimana mengemasnya saja. Ini bukan soal pemasaran melulu, ilmu dan pengetahuan tidak melulu harus menjadi barang dagangan. Pada suatu posisi, pengetahuan harus menjadi barang yang dapat dibagikan secara cuma-cuma. Dan terakhir, untuk Anda, Pak Presiden RI, tolong jawab pertanyaan ini--bila Anda sempat membaca tulisan ini tentunya--, “Adakah yang salah dari sebuah harapan untuk terbebas dari belenggu produk asing? Adakah yang slaah dari keinginan untuk memerdekaan Indonesia? Adakah yang salah dengan membangkan produk dalam negeri yang meskipun masih ala kadarnya ini? Apakah kami salah bila kami berujar seperti ini?”. Saya yakin Anda orang cerdas dan hebat, namun mungkin belum kenal dengan barang yang namanya Open Source, jadi tentu saja aku tidak bisa menyalahkan orang yang tidak tahu.
Beberapa komentator yang moderat seringkali mengucapkan, “Semua hal kan ada positif dan negatifnya”. Untuk kali ini aku tidak terlalu tertarik untuk ikut berdebat mana yang salah mana yang benar. Semua bisa saja benar, tapi bisa juga salah. Anggap saja kita sedang berjudi tentang nasib masa depan yang akan terjadi pasca terjadinya MoU RI dengan Microsoft.
Aku memang pernah menulis soal surat tentang pengguna open source yang meminta perhatian dari pemimpin negeri. Namun, apalah arti surat bodoh itu. Usai mengikuti pesta rilis Ubuntu Wily kemarin, aku jadi terngiang-ngiang soal dukungan open source di Indonesia.
Sekarang, persetan dengan apa yang mau dilakukan oleh para petinggi negara. Jika itu dianggap yang terbaik, maka biarkanlah. Namun tetap saja, sebagai pengguna open source, aku merasa perlu adanya sedikit perubahan dalam tubuh komunitas yang telah berkembang cukup pesat.
Aku sempat kagum dengan apa yang telah dilakukan oleh tim GrombyangOS. Ya, mereka benar-benar terjun ke lapangan untuk memberikan sosialisasi tentang FOSS dan Linux. Anggaplah itu adalah contoh yang sederhana dan langkah pertama yang cukup baik dan perlu dilanjutkan serta di kembangkan.
Soal biaya? Untuk sebuah harapan kemerdekaan, tentu saja sedikit banyak ada biaya yang harus dikeluarkan. Orang Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea”. Tapi entah mengapa aku merasa nggak ikhlas kalau uang negara dilarikan keluar negeri untuk membeli perangat lunak dan embel-embel dukungan yang akan diberikan. Aku lebih senang kalau duit negara itu dipakai untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam negeri ini, di bidang apapun lah . . . asal bukan bidang suap dan korup lho!
Mereka lebih baik, ya tentu saja. Kacamata mereka adalah kacamata bisnis. Tapi ayolah, sampai kapan kita akan jadi konsumen. Seperti yang sudah pernah aku bilang sebelumnya, meski tak sebaik produk yang komersial, namun setidaknya kita mampu mengembangkan produk yang sepadan dan cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan perkomputeran sehari-hari. Jangan pernah lupa, ketika negara ini dibentuk, negara ini cuma punya modal semangat dan tindakan-tindakan pasti secara pelahan hingga terwujud keadaan seperti sekarang ini. Nah, lalu kenapa kita takut untuk membuat perubahan?
Maaf, maaf . . . Aku mulai nglantur, intinya ada atau tidak adanya dukungan pemerintah, bukanlah alasan bagi pengguna open source untuk berhenti berkarya. Menjadi pengguna fanatik, sesekali bukanlah masalah, asal fanatik yang memberikan solusi. Kita sudah memiliki lumayan banyak SDM dan karya-karya open source. Tinggal bagaimana mengemasnya saja. Ini bukan soal pemasaran melulu, ilmu dan pengetahuan tidak melulu harus menjadi barang dagangan. Pada suatu posisi, pengetahuan harus menjadi barang yang dapat dibagikan secara cuma-cuma. Dan terakhir, untuk Anda, Pak Presiden RI, tolong jawab pertanyaan ini--bila Anda sempat membaca tulisan ini tentunya--, “Adakah yang salah dari sebuah harapan untuk terbebas dari belenggu produk asing? Adakah yang slaah dari keinginan untuk memerdekaan Indonesia? Adakah yang salah dengan membangkan produk dalam negeri yang meskipun masih ala kadarnya ini? Apakah kami salah bila kami berujar seperti ini?”. Saya yakin Anda orang cerdas dan hebat, namun mungkin belum kenal dengan barang yang namanya Open Source, jadi tentu saja aku tidak bisa menyalahkan orang yang tidak tahu.
3 comments:
setuju nih, terutama "duit negara itu dipakai untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam negeri ini"
kebetulan saya pengguna ubuntu :))
Setuju, biaya operasional negara juga lumayan termakan banyak untuk lisensi sistem operasi dan aplikasi sebagai penunjang pegawai negeri bekerja.
Kebetulan saya pengguna Linux Desktop sebagai penunjang pekerjaan, dan juga Linux server sebagai sistem operasi yang saya operasikan.
Aris,
http://blog.wibono.xyz
Setuju gan ama ente, Mendingan tuh dana gede, di gunain buat majuin potensi lokal di Indonesia ini, atau kalo gk ya buat tambahan dana atasi bencana alam yang lagi melanda negeri ini, okelah gk harus langsung berubah 100% open source bertahap demi bertahap yang penting hasilnya nanti kita bisa terlepas dari jajahan Microsoft,
~Yudha
teknologistress.blogspot.com
Post a Comment