Tuesday 6 October 2015

Teori Sastra Alex Preminger

Preminger dkk. (1974: 981) mengungkapkan bahwa kebahasaan dan kesastraan tidak lepas dari tindakan sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa : sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Penelitian harus menandakan satuan-satuan minimal yang digunakan oleh sistem tersebut; penelitian harus menentukan kontras-kontras di antara satuan-satuan yang menghasilkan arti, (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintagmatik). Dikatakan selanjutnya oleh Preminger bahwa studi wacana sosiologis sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem wacana kebahasaan dan kesasteraan yang melibatkan analisis mikro sampai analisis makro dalam perspektif wacana sosiologis. Telaah yang demikian dimulai dari telaah teks kebahasaan dan kesatraan yang dapat menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti  secara gramatikal dan selanjutnya diperoleh makna (intended Message) yang lebih mengakar dengan  kontes sosiologis sebuah wacana (discourse is cultutal bound), karena karya sastra merupakan ‘memetic’ atau refleksi dari wacana social (Supratno, 2005)
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam sastra ada jenis sastra (genre) dan ragam-ragam, jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam : puisi lirik, syair, pantun, soneta, balada dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri
Pemaknaan tersebut semestinya memerlukan konteks ungkapan wacana kesasteraan . Dalam menganalisis karya sasta, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam rangka sastra itu mempunyai maknam sebagai perwujudan bahwa karya sastra secara substansial diramu dengan bahan dasar ‘bahasa’ yang dirancang dari konstruksi dengan ‘linguistic enginering’, sehingga melahirkan bahasa yang memiliki estetika tinggi (bahasa sastram / bahasa rinenggo), sebagai contohnya, genre novel merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan yang sensual, diantaranya : personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna  berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra, yang dapat berupa ungkapan-unkapan perbandingan kias, perbandingan dan disampaikan secara elegan, mataporik, dan estetik, sehingga melahirkan efek kompetensi estetika yaaang menimbulkan rasa haru, senang, bahagia, tegang, celamas, iba dan bahkan menjadikan pembaca hanyut dalam perangkap pikiran, idiologi, dan persaan pencipta karya sastra.yang berprinsip pada ketidaklangsungan and ambiguitas. Hal ini, sejalan dengan pandangan Robert Frost yang mengatakan bahwa karya sastra memiliki prinsip ‘saying one thing meaning another’ artinya mengatakan sesuatu, tetapi bermakna lain. Oleh karena itu. Untuk memperoleh pemaknaan yang diharapkan (intended meaning) secara tektual dan kontekstual sebuah wacana kesastran sangat diperlukan aspek-aspek budaya, ideologi, religi, politik dan bahkan aspek psikologi (Cummings, 2005:42).
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada umumnya ataupun konvensi-konvensi tanda-tanda kebahasaan. Seperti telah diterangkan, tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna disebabkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Konvensi itu merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra, perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun, bahkan kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri. Sastrawan dalam menulis karya sastranya terikat oleh hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut. Tanpa demikian, karya sastra tidak dapat dibumikan maknanya secara optimal sampai ke akar-akarnya, seiring dengan paradigm posmoderen.
Pandangan wacana diatas, mengilhami peneliti untuk melakukan analisis wacana sosiologis karya sastra yang menggunakan pendekatan integral telaah kesastra dan kebahasaan, dengan maksud agar dapat dimaknahi secara tekstual maupun kontekstual, sehingga memperoleh  pemaknaan secara terpadu yang tercermin dalam fenomena karya sastra, terutama karya sastra sebagai wahana / kendaraan penulis untuk menghantarkan pikiran, perasaan dan imiginasi pengarang yang terkait dengan fenomena sosial secara dal perspektif sosiologi sastra.
Bagikan:

0 comments: