Pertemuan
singkatku dengan Karlina, berlanjut menjadi hubungan pertemanan yang
cukup akrab. Tentu saja, kami hanya berteman dan tak lebih dari
sekedar itu. Sehari usai perkenalanku itu, iseng-iseng aku
menawarinya untuk berkenan mampir ke tenda yang letaknya paling ujung
di kelurahan IV. Aku pikir tawaranku itu akan ditolaknya dengan
bahasa halus sebagaimana orang-orang pada lazimnya. Ternyata dugaanku
salah, Karlina justru dengan senang hati bersedia untuk mampir ke
tendaku bersama seorang temannya. Amboi, betapa bingungnya aku waktu
itu, apa lagi saat itu tenda masih dalam keaadaan kurang rapi. Dengan
sikap sigap dan cepat segera kuminta teman-teman sanggaku untuk
merapikan tenda, malu kan kalu tenda berantakan disinggahi tamu.
Rupanya
benar, siang itu Karlina datang bersama seorang adik didiknya bernama
Nia. Aku dan Kak Ofi, menyambutnya dengan lagu selamat datang khas
anak-anak pramuka. Secangkir teh hangat kusuguhkan pada mereka
berdua, sedang Kak Ofi malah menyuguhkan permainan puzle yang membuat
mereka berdua berpikir keras.
Di
sela-sela itu, kami ngobrol ringan sambil sesekali saling meledek
astu sama lain. Ya, jujur saja terkadang ledekan yang dibumbui dengan
canda dapat mengakrabkan orang-orang yang bahkan baru berkenalan
sekalipun.
“Lin,
kamu orang Kalimantan asli ya?” tanyaku dengan wajah datar.
“Iya...”
“Oh...
pantesan...”
“Pantesan
apa, Ram?” tanyanya agak penasaran.
“Wajahmu
kinclong banget, mirip batu akik yang baru digosok” ucapku pelan
yang akhirnya menimbulkan tawa orang-orang yang duduk di teras tenda.
“...”
ekspresi kecewa bercampur dengan ekspresi menahan tawa menghiasi
wajah manis Karlina.
Usai
menemukan jawaban puzle yang diajarkan oleh Kak Ofi dan ngbrol
“ngalor-ngidul” nggak tentu arah, Karlina dan Nia pun berpamitan.
Hari itu, langit Tanah Laut Banjarmasin nampak begitu cerah
mengiringi kepergian mereka berdua.
Awalnya,
aku pertemuanku di siang menjelang sore itu adalah pertemuan
terakhirku dengan Karlina, kenalan perempuanku yang pertama kali di
PPSN IV, ternyata dugaanku salah.
Di
malam terakhir PPSN IV, aku masih sempat bertemu dengan gadis
keturunan suku Dayak itu. Ya, kami berjumpa di lapangan utama saat
acara pentas seni perpisahan. Aku dan dia saling berkirim balas pesan
menyampaikan tempat kami berdua duduk, awalnya aku tengok kanan kiri
berkali-kali lanataran tak tahu pasti ihal posisi yang ia sampaikan
melalui sms terakhirnya. Namun setelah sepersekian menit, kordinat
tempat duduknya pun dapat kutemukan, dan ngobrollah lagi kita di
sana.
Kami
tak berduaan kok, karena di sana kami duduk bareng teman-teman bahkan
gurunya Karlina.
“Kamu
nggak ke bazar, Ram?” tanya Karlina di antara obrolan kita malam
itu.
“Pengen
sih, aku pengen nyari kain batik khas Kalimantan Selatan sini”
“Owh,
batik Sasirahan . . . ya udah ntar bareng aja, kita juga mau ke sana
kok...”
“Ehm...
boleh, ntar aku tolong bantuin nyari ya, Lin...”
“Okey...”
Sebelum
pentas seni benar-benar usai, aku, Karlina, dan rekan-rekannya
beranjak dari lapangan menuju ke tempat bazar. Karena ini malam
terkhir, mungkin rekan-rekan Karlina juga hendak belanja oleh-oleh,
sama sepertiku.
Kau
tahu, aku agak canggung jalan dengan Karlina. Bukan apa-apa, aku jadi
teringat yang di rumah, yang bahkan aku tak pernah mengajaknya jalan.
Tak pernah sama sekali. Sialnya, tak jarang keadaan jalan yang sempit
terkadang membuatku terpaksa berjalan dengan Karlina dengan jarak
yang amat dekat.
“Maaf
Lin, bisa agak jaga jarak kan?”
“Aha...
kenapa? Ingat yang di rumah ya?” ucapanya menggoda.
“Iya,
nggak enak sama yang udah nunggu di rumah”
Untunglah
Karlina mengerti posisiku dan status hubunganku, jadi hatiku sedikit
lebih tenang. Aku tak ingin ada hati yang merasa kecewa usai
pertemuan ini.
Aku,
Karlina dan rombongan yang lain sempat berpencar. Ditengah
perjalanan, kami jumpai Kak Ofi dan Kak Kholis sedang asik mencoba
kacamata di depan si penjual sambil bertanya-tanya entah tentang apa.
“Ram,
kamu tunggu sini dulu ya... aku mau kesana dulu sama Nia, ntar aku
balik ke sini lagi...” ucap Karlina setengah berlari. Dari wajahnya
ia nampak tergesa-gesa dan tiba-tiba aku merasa kepergiannya itu akan
lama.
Karena
terlanjur mengiyakan permintaan Karlina untuk menunggunya, aku pun
menepati ucapanku, dan benar rupanya, ia pergi lama sekali. Sambil
menuggunya kembali, kusempatkan berbincang dengan penjual batu akik
yang berada di pinggir bazar depan toko kacamata tempat Kak Kholis
dan Kak Ofi berdiri tadi.
“Masih
nunggutemen adik yang tadi ya?” tanya penjual batu itu di sela-sela
pembicaraan.
“Iya,
pak”
“Pacar
adik ya"
“Bukan,
kok!”
“Lah
dia orang Kalimantan kan?” selidiknya.
“Iya,
dia asli Kalsel, pak”
“Wah-wah
suatu saat pian pasti balik lagi kemari”
“Loh,
kenapa emangnya?”
“Sudah
mitos dik, apa lagi adik kayaknya kecantol sama gadis yang pakai
jaket tadi...”
“Ah,
bapak ngaco aja ...”
“Sudahlah,
itu tak penting sebenarnya... ini, belilah batu yang ulun jual ini
buat oleh-oleh keluarga pian di rumah sana...”
“...?”
Tak
terasa hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya aku coba
menghubunginya lewat pesan singkat, dan balasannya sungguh
mengejutkan...
“Maaf,
Ram. Temenku tadi terpeleset dan jatuh nggak bisa bangun lagi, ini
aku lagi perjalanan ke rumah sakit”
Aku
terdiam, menatap rembulan yang bersinar di atasku sambil menarik
pnjang napasku. Mungkin, inilah pertemuanku yang benar-benar terakhir
dengan Karlina.
0 comments:
Post a Comment