Salah Satu Gambar Latar Tambora
Terhitung sejak Senin 3 Oktober lalu, saya telah kembali menjadi pengguna Linux BlankOn. Entah karena hembusan angin apa tiba-tiba saja timbul keinginan yang meluap-luap untuk kembali ke BlankOn. Saya pribadi menganalogikan apa yang terjadi pada saya ini seperti pulang.
Saya mengenal BlankOn sudah lumaya lama. Ketika masih duduk di bangku kelas SMP, saya pernah mencicipi BlankOn Nanggar dan Ombilin. Bukan main girangnya kala itu. Ada secercah “kebanggaan” di hati saat memasangnya pada laptop saya yang merknya sama sekali tidak terkenal.
Perjalanan saya dan BlankOn kala itu memang tidak berjalan lama. Karena saat itu BlankOn belum mendukung VGA laptop saya. Bukan hanya BlankOn sebenarnya, namun hampir sebagian besar distro Linux pada umumnya. Alhasil, beralihlah saya ke Linux Mint dan konsisten menggunakannya hingga sekarang.
Harus saya akui bahwa Linux Mint memang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan berbagai tugas. Saking nyamannya, saya hampir-hampir tidak tertarik lagi untuk mencoba distro-distro lain, termasuk distro-distro lokal maupun manca yang belakangan ini masif bermunculan. Saya tak lagi edan selayaknya saya SMP dulu yang hampir tiap minggu gonta-ganti distro. Meskipun hal tersebut juga bernilai plus, saya jadi punya koleksi puluhan (hampir seratus) distro linux.
Namun apalah daya, saat kuliah saya malah kepincut dengan elementary OS atau sering disebut eOS. Alasan sederhana yang membuat saya kepincut pada eOS tak muluk-muluk sebenarnya, karena dia lebih enteng. Ya, laptop kedua saya memang memiliki spesifikasi yang rendah. Setidaknya, dibanding laptop saya yang pertama, laptop saya yang kedua ini lebih bermerk. :-)
eOS benar-benar membuat saya tergiur. Desktop Pantheon-nya yang simpel semakin memikat hati saya. Akhirnya, mendualah saya. Pada saat-saat tertentu, saya ajak Mint jalan-jalan, dan pada saat yang lain, gantian eOS yang saya ajak jalan. Oh, tidak. Tidak pernah ada “Jendela” di laptop saya. Setidaknya itu sudah berlangsung sejak saya kelas VIII SMP.
Keharmonisan antara Mint dan eOS berjalan cukup lama, setidaknya hingga acara openSUSE.Asia Summit kemarin. Pasca acara tersebut, saya jadi gelisah. Seolah ada tamparan keras yang mendarat di muka. Tamparan yang mengingatkan bahwa saya sebenarnya mampu untuk “kembali” berkontribusi di dunia open source. Ke-pasif-an saya harus segera disudahi. Saya pernah sinting karena keseringan memprovokasi sekitar untuk mengajak mereka belajar tentang FOSS. Sekarang, saya tidak berbuat apa-apa? Tidak!
Setelah cukup lama menjadi pengguna Linux, sekalipun belum menguasai teknis pemrograman, saya merasa punya tanggung jawab untuk ikut andil dalam persoalan ini. Lebih-lebih, sekarang saya telah melihat dan mendengar kenyataan bahwa distro Indonesia (dalam hal ini BlankOn) telah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk siapa saja agar ikut berkontribusi. Ambil!
Hal-hal itulah yang akhirnya membuat saya “pulang” kepada BlankOn. Meskipun beberapa kali gagal instalasi, namun akhirnya laptop yang biasa-biasa ini dapat bekerja di luar kebiasaannya.
Saya mengenal BlankOn sudah lumaya lama. Ketika masih duduk di bangku kelas SMP, saya pernah mencicipi BlankOn Nanggar dan Ombilin. Bukan main girangnya kala itu. Ada secercah “kebanggaan” di hati saat memasangnya pada laptop saya yang merknya sama sekali tidak terkenal.
Perjalanan saya dan BlankOn kala itu memang tidak berjalan lama. Karena saat itu BlankOn belum mendukung VGA laptop saya. Bukan hanya BlankOn sebenarnya, namun hampir sebagian besar distro Linux pada umumnya. Alhasil, beralihlah saya ke Linux Mint dan konsisten menggunakannya hingga sekarang.
Harus saya akui bahwa Linux Mint memang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan berbagai tugas. Saking nyamannya, saya hampir-hampir tidak tertarik lagi untuk mencoba distro-distro lain, termasuk distro-distro lokal maupun manca yang belakangan ini masif bermunculan. Saya tak lagi edan selayaknya saya SMP dulu yang hampir tiap minggu gonta-ganti distro. Meskipun hal tersebut juga bernilai plus, saya jadi punya koleksi puluhan (hampir seratus) distro linux.
Namun apalah daya, saat kuliah saya malah kepincut dengan elementary OS atau sering disebut eOS. Alasan sederhana yang membuat saya kepincut pada eOS tak muluk-muluk sebenarnya, karena dia lebih enteng. Ya, laptop kedua saya memang memiliki spesifikasi yang rendah. Setidaknya, dibanding laptop saya yang pertama, laptop saya yang kedua ini lebih bermerk. :-)
eOS benar-benar membuat saya tergiur. Desktop Pantheon-nya yang simpel semakin memikat hati saya. Akhirnya, mendualah saya. Pada saat-saat tertentu, saya ajak Mint jalan-jalan, dan pada saat yang lain, gantian eOS yang saya ajak jalan. Oh, tidak. Tidak pernah ada “Jendela” di laptop saya. Setidaknya itu sudah berlangsung sejak saya kelas VIII SMP.
Keharmonisan antara Mint dan eOS berjalan cukup lama, setidaknya hingga acara openSUSE.Asia Summit kemarin. Pasca acara tersebut, saya jadi gelisah. Seolah ada tamparan keras yang mendarat di muka. Tamparan yang mengingatkan bahwa saya sebenarnya mampu untuk “kembali” berkontribusi di dunia open source. Ke-pasif-an saya harus segera disudahi. Saya pernah sinting karena keseringan memprovokasi sekitar untuk mengajak mereka belajar tentang FOSS. Sekarang, saya tidak berbuat apa-apa? Tidak!
Setelah cukup lama menjadi pengguna Linux, sekalipun belum menguasai teknis pemrograman, saya merasa punya tanggung jawab untuk ikut andil dalam persoalan ini. Lebih-lebih, sekarang saya telah melihat dan mendengar kenyataan bahwa distro Indonesia (dalam hal ini BlankOn) telah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk siapa saja agar ikut berkontribusi. Ambil!
Hal-hal itulah yang akhirnya membuat saya “pulang” kepada BlankOn. Meskipun beberapa kali gagal instalasi, namun akhirnya laptop yang biasa-biasa ini dapat bekerja di luar kebiasaannya.