“IKAMARU bukan sekedar kebanggan, namun juga tantangan untuk menjadi khoirunnas anfa’uhum linnas”
Jumat kemarin, usai kuliah dan menyelesaikan beberapa kegiatan di kampus, saya menyempatkan diri untuk menghadiri acara muwada’ah di pesantren yang amat saya rindukan. Sebelum keberangkatan, sempat ada sedikit masalah soal jadwal, namun apa boleh buat bila tekad di hati sudah bulat. Dengan diantarkan oleh teman sekelas, saya pun pergi ke terminal. Dan singkatnya, sampailah juga saya di Pati sekitar pukul 22.00 dengan lelah yang bercampur bahagia.
Malam itu saya dijemput oleh salah seorang teman baik saya, seorang teman yang dulu juga berjuang bersama saya ketika masih nyantri di Guyangan, Insanul Mahfidz. Saya sering memanggilnya dengan sebutan Kajar. Di rumah Kajar-lah saya menginap malam itu.
Sembari melepas lelah, saya dan anak berperawakan tinggi kurus itu bernostalgia dengan apa yang pernah terjadi selama kami berdua bersekolah di Raudlatul Ulum. Kami berdua bukan sekedar dekat, tapi amat dekat. Kegiatan padatlah yang dulunya membuat kami saling mengenal satu sama lain hingga seperti sekarang.
Akan sangat panjang jadinya, bila saya ceritakan isi nostalgia kami berdua. Setelah sama-sama lelah, kami pun rehat dengan sendirinya. Dan sejurus kemudian, datanglah pagi di hari Sabtu.
Sabtu itu, hanya ada dua agenda besar yang benar-benar ingin saya lakukan. Pertama, berziarah ke Almaghfurulah Yi Suyuthi kemudia yang kedua adalah berkunjung ke pondok yang bertahun-tahun dulu menampung kisah dan semua kenangan saya.
Di temani Kajar, berangkatlah saya ke maqbaroh Guyangan. Tanpa diduga, beberapa teman IKAMARU dari beberapa wilayah, termasuk Semarang, Malang dan Surabaya juga sedang beberapa di sana. Usai “bersapa rindu” dengan Yi Thi dengan bacaan Surat Yasin dan Tahlil, saya dan Kajar bergegas menuju rumah salah seorang teman kami (yang juga saya kangeni), Fajrul Falah alias Jin.
Jin inilah yang dulunya juga banyak membantu saya selama di Guyangan. Orang yang lugu dan sesekali membuat perasaan jengkel lahir karena ucap dan polahnya. Dia orang yang cerdas, setidaknya nama Jin yang melekat pada dirinya bisa dijadikan sebagai bukti. Ya, Jin merupakan potongan silabel dari kata dengan bunyi JIN-ius (plesetan dari jenius). Malam ini, saya akan bermalam di rumah Jin yang letaknya tak jauh dari pondok. Sebelum ini, saya sudah sering menginap di rumah Jin. Jadi, boleh dibilang, saya cukup akrab dengan keluarga si Fajrul ini.
Sesuai rencana yang sempat saya singgung di awal tadi, setelah cukup melepas penat, usai dzuhur kami bertiga berkunjung ke pondok putra, (sekali lagi) tempat yang benar-benar saya rindukan belakangan ini. Dag dig dug rasanya, ketika kaki ini kembali menapak dan melewati gerbang hijau pondok yang dulunya sering mengunci anak-anak yang telat berangkat ke madrasah.
Setelah mendapat izin dari lurah pondok, saya pun hilang sabar untuk segera masuk ke kamar. Dan, Allah! Betapa senangnya hati ini ketika mendapati teman-teman sekamar dulu sedang berkemas-kemas hendak wisuda besok. Semua anak di kamar menyalami saya dengan wajah penuh keceriaan. Saya hampir pangling. Bagaimana tidak, anak-anak MTs yang dulu masih kecil-kecil ketika aku lulus, kini sudah nampak besar. Hampir sebesar saya!
Kamar yang penuh kenangan itu, Abdullah bin Mas’ud namanya. Letaknya amat strategis. Bila ke bawah langsung ke kamar mandi dan dapur, bila ke atas menuju ke komplek G dan lantai 4, tempat menjemur pakaian. Sedangkan jika lurus menuju ke kamar-kamar komplek E dan jika ke kanan menuju komplek d. Banyak yang berubah dari kamar ini. Mulai dari warna cat yang dulunya hijau kini menjadi merah muda, serta beberapa penataan-penataan lain terhadap hiasan kamar. Ini kamar kami!
Puas bercengkrama dengan anak-anak kamar Mas’ud, saya teringar salah seorang teman saya di MDPA yang karena suatu hal ia tidak dapat wisuda bersama saya tahun lalu. Faisal Amar. Dari bawah, saya memberi kode kepada anak di lantai tiga untuk memanggilkan Amar. Dan tidak sampai satu menit, datanglah ia. Wajahnya penuh kebahagiaan. Suara tawanya masih sama. Rambutnya saja yang agak berbeda, agak pendek bila dibandingkan rambut saya, biasanya sebaliknya, hehehe....
Kami berdua bercakap banyak hal di teras kamar Mas’ud. Hingga akhirnya ia harus pergi, karena harus mengikuti gladi bersih wisuda di madrasah. Ya Allah, semua tampak gembira hari ini. Saya yang sudah lulus ini, malah jadi ikut tidak sabar untuk mengikuti prosesi wisuda besok pagi.
Selain Amar, di kantor pondok, saya juga berjumpa dengan Gus Nabil, putra dari pengasuh pondok ini. Dari beliau, saya mendapatkan buku wirid as-Suyutiyyah yang dulu belum dicetak sebagus yang saya dapatkan ini. Selain as-Suyutiyyah, saya juga beroleh majalah Bangkit dari pentolan ISRU yang sedang berkemas-kemas hendak ke madrasah untuk mengikuti gladi bersih pula.
Saya tidak bisa menuliskan, bagaiamana perasaan saya yang amat senang siang itu melalui tulisan ini. Rasa-rasanya, saya kesulitan mencari kata yang dapat mewakili kegembiraan saya kala itu. Tak apa, toh nantinya semua rekan-rekan IKAMARU 2016 juga pasti akan merasakannya sendiri. Perasaan bahagia ketika kembali ke pondok pesantren. Perasaan bahagia ketika dapat kembali mencium tangan guru-guru Guyangan. Perasaan bahagia-bahagia lain ketika rindu dapat dipatahkan!
0 comments:
Post a Comment