Sunday, 27 December 2015

Rasa yang Kembali


Beberapa waktu yang lalu, seseorang teman yang baru saya kenal menemui saya di kampus. Ia datang dengan membawa sebuah laptop berwarna hitam yang ia kabarkan rusak. Dalam hal ini saya ingin menyebutnya sedang bermasalah. Ya, bukan rusak. Haha, alasan subjektif sebenarnya, karena di otak saya sebuah perangkat dikatakan rusak jika tidak dapat digunakan sama sekali. Orang Jawa biasanya mengistilahkannya dengan, “mati pletes!”.

Kehadiran laptop yang sedang bermasalah tersebut sedikit banyak melengkapi perumpamaan yang sempat terngiang di kepala saya, “Pucuk dicinta, ulam pun tiba”. Mengapa? Karena sehari sebelum teman saya itu datang, saya telah mengunduh distro favorit yang selalu menjadi favorit saya dan baru saja dirilis, apa lagi kalau bukan Linux Mint 17.3 Rosa.

Maka, setelah memeriksa permasalahan yang terjadi pada laptop teman saya tadi, saya mengindikasikan bahwa sistem operasi yang terpasang telah mengalami corrupt file system. Sok tahu? Ya, saya memang sok tahu. Apa salahnya? Toh yang terjadi memang demikian. 
 
“Bagaimana Ram, bisa?” tanya teman saya dengan wajah mulai cemas.
 
“Kamu butuhnya kapan?”
 
“Nanti sore, Ram. Aku harus presentasi tugas nanti, dan file-nya ada di situ”.
Aku tangkap wajahnya makin cemas. Dari kecemasannya itu, aku mengira bahwa file ada di laptop ini memang cukup penting dan harus segera diselamatkan.
 
“Ok, gini aja. Ini file-nya bisa aku ambi. Namun untuk memperbaiki laptop ini seperti semula, aku sedikit butuh waktu. Karena kalau mau install Windows yang ori harus nunggu bapak yang di DSDI datang”.
 
“Harus yang dari DSDI ya, Ram?”
 
“Setidaknya, kalau mau yang legal. . . maka jawabnya, iya!”
 
“Nggak ada alternatif lain yang lebih cepet?”
 
“Ada sih, tapi aku nggak yakin kamu setuju?”
 
“Apa?”
 
“Pakai Linux, seperti laptopku.” 
 
Ah, iya . . . panggil saja temanku dengan sebutan Putri (bukan nama sebenarnya, karena dia malu kalo namanya ditulis). Putri pun sejenak memperhatikan laptopku dan beberapa kali melakukan aktivitas kecil seperti membuka web browser, smplayer, writer, dan beberapa hal lainnya.
 
“Ini Linux . . . ,” belum sempat aku menjawabnya, ia menyambung ujarannya, “bagus kok, emang kenapa kalau Linux?” aku sempat tersentak dengan responnya tersebut. 
 
“Ya. . . , barangkali saja kamu nggak suka atau gimana gitu.”
 
“Nggak beda jauh sama Windows kan?”
 
“Sebenernya nggak sih.”
 
“Ok, pasang itu aja deh. Yang penting bisa dipakai, ntar kalo nggak bia aku kontak kamu ya!”
 
“Sip!”
 
Alhasil, aku pun memasang Rosa yang kemarin aku unduh ke laptop hitam tersebut. Secera tidak langsung sebenarnya aku juga ingin mereview performa Rosa pada laptop celeron dengan RAM 1 GB, dan frekuensi 1,4 GHz itu.
 
Sesekali aku perlihatkan tampilan awal Rosa pada Putri saat berjalan pada mode Live USB. Ia menggut-manggut melihat apa yang terjadi pada laptopnya. Dan spontan, wajahnya terlihat ceria ketika kutunjukkan file presentasinya dalam keadaan sehat wal afiyat dan siap ditampilkan nanti sore.
 
“Ram, misalnya nih . . . Tampilannya kamu ganti kaya Windows, bisa? Kalau nggak ngrepotin sih.”
 
Aku hanya mengangguk. Meskipun aku belum pernah mengubah tampilan Linux ke tampilan Windows, karena alasan selera dan apa ya . . . kupikir bahwa Linux punya sejuta tampilan yang lebih menarik, lagi pula tampilan Windows bukanlah standar untuk tampilan desktop, menurutku. Pun demikian, karena ini permintaan, aku cukup bermodal yakin dapat melakukan apa yang ia minta, itu saja.
 
Singkat cerita, penginstalan selesai dan berjalan dengan lancar. Rosa yang kupasang tersebut menggunakan Cinnamon sebagai default desktop-nya. Sementara aku jalankan dan aku cek, alhamdulillah lancar. Beberapa update telah aku lakukan dengan bantuan UGM-Hotspot. Selain update, aku juga menambahkan beberapa aplikasi khusus, semisal WPS untuk menggantikan Libreoffice, smplayer dan audacious untuk pemutar medianya, XDM untuk download manager yang aku integrasikan dengan firefox, Wine untuk sekedar berjaga-jaga kalau dia membutuhkan dan sentuhan terakhir adalah mengubah wajah default Rosa ke wajah Windows 10.
 
Ah iya, aku sengaja mengganti Libreoffice dengan WPS karena aku pikir si Putri akan lebih familiar dengan interface WPS yang mendekati MSOffice dibandingkan Libreoffice. 
 
Sekali lagi, semua telah berjalan dengan lancar. Dan untuk tampilan Windows aku dapatkan dari gnoome-look.org. Lebih detailnya, melalui tautan http://gnome-look.org/content/show.php/Windows+10+Transformation+Pack?content=171327.
 
Sekitar satu jam setengah, semua sudah beres, aku pun menunjukkan hal-hal dasar padanya. Tentang password root, pengelola berkas, pengelola paket, serta cara shutdown tentunya, hehe.
 
Senyum pun mengembang dengan manisnya dari kedua belah bibir Putri. Ah, hampir lupa kuceritaan, sebelum ia pergi aku memasang pada laptopnya aplikasi teamviewer agar dapat me-remote deksktop-nya jika sewaktu-waktu diperlukan.
 
Saat browsing tentang tampilan Windows 10 untuk Linux, aku menemukan sebuah artikel yang menarik berbahasa Inggris tentang tweak desktop cinnamon. Sepertinya, aku harus kembali keduniaku. Ya, berbagi dan belajar open source, setelah beberapa bulan vacum lantaran pentas yang jadwalnya beruntun nan bertubi.
 
Ketika melihat begitu nyamannya laptop Putri berjalan dengan Rosa, tiba-tiba aku jadi ingin memasangnya di laptopku. Haha, iya, laptopku saat ini masih berjalan dengan Freya dan Rafaela. Pada mulanya, aku menggunakan Rafaela saja. Namun karena sering dioprek, Rafaela jadi agak berat dan aku menemukan Freya yang ternyata jauh lebih ringan. Didorong kebutuhan untuk segera menyelesaikan tugas kuliah yang mulai menumpuk, akhirnya aku pasanglah Freya bersandingan dengan Rafaela. Kau tahu, mungkin itulah yang selayaknya kusebut sebagai cinta. Meski aku tahu bahwa Rafaela tak sesempurna dulu, dan aku telah menemukan yang lebih baik (lebih ringan dan responsif), hatiku tetap tak mampu berpaling dari keluarga Mint. Dan sekarang, perasaan itu tumbuh lagi. Apakah aku harus memungkasi tahun ini dengan kembali ke pelukan linuxmint?
Bagikan:

3 comments:

Unknown said...

Menarik.👍

Rania Amina said...

mitrakasih . . .

Yus Yulianto said...

Keren.

Saya juga pernah punya pengalaman yang sama, menginstall Linux di laptop teman. Waktu itu saya install Freya di laptopnya.

Bedanya, teman saya "ngga tahan" dengan Linux dan akhirnya diganti ke Windows bajakan lagi. Hahaha.

Saya sendiri juga pengguna Linux. Sekarang saya pakai Freya.