Aku jadi teringat tentang sebuah cerpen yang pernah termuat di koran Minggu Jawa Pos, yang judulnya, “Isrtri Pengarang”. Setidaknya ada beberapa hal menjengkelkan yang saat ini aku alami--dan kurang ajarnya--hampir mirip dengan plot cerita di cerpen itu.
Istri Pengarang, berkisah tentang kecemburuan seorang istri pengarang novel yang kurang terkenal pada suaminya. Perempuan bernama Diana itu mulai merasa curiga pada suaminya yang sering keluar malam dengan alasan bisnis bersama penerbit. Kecemburuan Diana kian menguat ketika ia membaca kisah-kisah percintaan yang ditulis oleh sang suami dalam novel atau cerpen-cerpennya. Tak sedikit cerpen yang bersudut pandang orang pertama itu menggambarkan hal-hal mesra bahkan sampai intim dengan dengan seorang perempuan bernama Nadia. Kedetailan si suami dalam menulis kisah membuat Diana berpikiran bahwa hal-hal yang keluar dari pikiran suaminya adalah nyata dan benar-benar terjadi.
Namun masalahnya adalah, siapa sebenarnya Nadia? Suatu hari, dengan kecurigaan yang kian menggebu Diana mencoba mencari tahu ihal perempuan yang namanya sering muncul sebagai tokoh utama perempuan di tulisan suaminya itu. Namun hasilnya nihil, tak ada kejelasan sama sekali tentang Nadia.
“Kau tahu, ini rasanya seperti cemburu pada hantu. . . Hantu juga tak pernah jelas adanya, namun berhasil membuat sebagian besar orang takut, begitu pun gadis bernama Nadia itu.” ungkap Diana.
Di akhir kisah, saat Diana tak lagi punya pekerjaan lantaran terkena PHK, dan bayang-bayang ketakutan akan hadirnya sesosok Nadia, membuatnya menjadi kalap dan tanpa sadar menusukkan pisau ke tengkuk suaminya saat sedang menulis kisah tentang percintaanya dengan Nadia.
Namun sekali lagi penyesalan selalu datang terlambat, karena Diana baru menyadari bahwa yang ditulis suaminya adalah dirinya sendiri. Ya, Nadia hanyalah permainan suku kata dari Dia-na menjadi Nadia. Sayangnya saat ia menyadari hal itu, suaminya telah lenyap di bawah nisan, dan dirinya meringkuk di rumah sakit jiwa karena cemburu pada hantu.
Kisah tentang Diana itu mungkin juga aku alami, namun aku bukan sebagai Diana melainkan sebagai suami Diana alias si pengarang.
Beberapa hari setelah kembali dari Kalimantan, aku mendapati banyak perubahan aneh pada beberapa teman akrabku. Namun bila melihat seperti ini jadinya, mungkin akan kucabut status mereka sebagai teman akrab, karena rupanya mereka tak benar-benar paham tentang aku, hanya sebatas kenal atau lebih tepatnya hanya sebatas teman (tidak) akrab.
Sebagai manusia yang telah nyata hidup di dunia, sebenarnya aku kurang begitu suka dengan tradisi baru tentang medsos yang berkembang saat ini. Mengapa, karena kegiatan bermedsos saat ini terlalu berlebihan, bahkna membuat sebagian besar dari orang-orang, termasuk teman-temanku lupa bahwa medsos adalah bagian dari dunia maya bukan dunia nyata.
Hal menjengkelkan yang baru kualami kemarin adalah saat aku kembali menulis beberapa kisah-kisah semi fiktif dan memostingnya di media sosial. Kisah-kisah yang aku tulis memang sedikit berbau percintaan remaja, dan celakanya beberapa temanku beranggapan bahwa itu adalah 100% nyata. Alhasil . . . .
Ya, begitulah. Karena aku sedang menjaga hati untuk seseorang dan dalam cerita-cerita yang kubuat itu tidak berkaitan dengan orang yang kukasihi, melahirkan dugaan bahwa aku akan meninggalkan kekasihku yang juga teman mereka itu.
Sebenarnya bukanlah suatu masalah bila teman-temanku itu hanya sabatas menduga-duga, toh aku juga sering menduga-duga tentang akhir kisah drama dari Detective Conan, namun hal menjemukan yang terjadi adalah mereka dengan sok tahunya membawa kisah dari dunia maya itu ke dunia nyata, dan BRAK! Timbullah konflik yang benar-benar nyata, masalah yang benar-benar terjadi dan menghampiri aku, si Tuhan dalam ceritaku.
Melihat kenyataan itu, aku baru menydari bahwa mereka dan sebagian dari kita rupanya belum siap untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia maya, bahkan celakanya kita juga belum bisa dengan baik menjadi masyarakat dunia nyata.
Bagaimana tidak, bukankan seorang yang jiwanya terganggu pun bisa (menyamar) menjadi orang yang alim dan bijak dengan mengutip berbagai qoute dari orang-orang yang waras. Bukankah tak jarang, kita temui orang-orang yang di dunia nyata tampaknya waras namun menjadi begitu gila di dunia maya? Sebenarnya itu bukan suatu kesalahan menurutku, sekali lagi kutegaskan ini adalah dunia maya, menyalahkan dunia maya tak ubahnya seorang Diana yang menyalahkan Nadia yang “seolah-olah” merebut suaminya.
Di akhir coretan ini, aku hanya ingin mengatakan sekaligus mengajak pada teman-teman yang lain, jika ingin menilai suatu barang di dunia nyata, maka jadilah masyarakat dunia nyata, dan begitu pun sebaliknya jika ingin menilai susuatu di dunia maya. Tentu saja kita akan sulit mengetahui betapa hebatnya suatu software tanpa menggunakan lalu menilainya saat ia berada di dalam komputer, sama halnya dengan kita akan amat kesulitan mengetahu pedasnya sambal jika itu ada di dalam komputer.
Bukankah hal yang biasa seseorang mengatakan dirinya sedang galau di medsos, namun pada kenyataannya ia sedang bersenang-senang dengan pujaan hatinya? Kau mengerti bukan?
Bukankah hal yang biasa seseorang mengatakan dirinya sedang galau di medsos, namun pada kenyataannya ia sedang bersenang-senang dengan pujaan hatinya? Kau mengerti bukan?
0 comments:
Post a Comment